Indonesia "Economy OutLook" 2017

Fabiola Febrinastri
Indonesia "Economy OutLook" 2017
Wakil Ketua DPR RI Bidang Ekonomi Dan Keuangan, Dr. Ir. H Taufik Kurniawan M.M. (dok: DPR)

Pertumbuhan ekonomi 2016 cenderung stabil.

Suara.com - Wakil Ketua DPR RI  Bidang Ekonomi Dan Keuangan, Dr. Ir. H Taufik Kurniawan M.M, menyatakan melalui siaran persnya bahwa berkaca pada pertumbuhan ekonomi dalam negeri sebesar 5,0 persen (y-o-y) di akhir 2016, kiranya ekonomi dalam negeri cenderung stabil dalam batas yang telah diprediksi bersama setelah mempertimbangan berbagai aspek perekonomian, baik di tataran global maupun domestik.

Memang, kita tidak bisa berharap muluk-muluk. Sebagaimana yang selalu disuarakan oleh pemerintahan  Joko Widodo, kondisi ekonomi global masih sangat rapuh untuk kita jadikan acuan pertumbuhan yang tinggi. Saya sepakat dengan pemerintah yang senantiasa realistis dalam menghadapi situasi ekonomi saat ini. Karena itu pula, kita bisa memahami sepenuhnya mengapa pemerintah menetapkan asunsi target pertumbuhan ekonomi dalam negeri pada 2017 sebesar 5,1 persen.

Meski demikian, menurut saya, target tersebut akan bisa terealisasi dengan berpegang pada efektivitas kebijakan pemerintah dalam memitigasi risiko ekonomi dari dalam negeri maupun luar negeri, serta perkembangan reformasi ekonomi dengan serangkaian jilid yang telah dijalankan selama ini.

Mitigasi resiko ini perlu diperhatikan dengan seksama. Realitas perekonomian dalam negeri yang cenderung stagnan (stabil) tidak lepas dari perlambatan ekonomi global. Meski stabilitas tersebut bisa disebut sebagai keberhasilan dalam rangka mempertahankan pertumbuhan di kisaran 5,0 persen (y-o-y) yang lebih tinggi dari triwulan yang sama tahun sebelumnya, yang hanya berkisar 4,7 persen.

Suatu hal yang sulit kita pungkiri adalah pertumbuhan yang stabil tersebut tidak lepas dari sumbangan terbesar dari sektor konsumsi (53,8 persen) dan investasi (31,6 persen). Keduanya menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan tahun ini. Namun di saat yang sama, pengetatan dan penurunan pengeluaran anggaran pemerintah di tahun ini tentu saja akan berimbas pada target pertumbuhan 2017.

Tahun ini, kita juga berulang kali dicemaskan oleh realitas pertumbuhan ekonomi Cina dan AS yang cenderung menurun. Dua negara yang saat ini menjadi kiblat ekonomi dunia di tengah progresivitas ekspor dan impor yang membuat ketergantungan negara-negara semisal Indonesia sulit untuk dihindari. Apalagi melihat kecenderungan ekonomi global, Cina dan AS pun sedang dilanda gerakan revisi kebijakan ekonomi yang setiap saat mempengaruhi ekonomi dalam negeri, khususnya nilai tukar rupiah.

Perubahan kebijakan Cina yang bergeser dari investasi dan industri ke jasa diduga turut menyebabkan semakin turunnya harga komoditas dan energi dunia pada triwulan II 2016. Kebijakan ekonomi Cina yang awalnya terfokus pada pengejaran target pertumbuhan dengan mendorong peningkatan investasi justru tidak berkesinambungan.

Muncul kredit macet dan menyulitkan upaya mereka untuk tetap bertumbuh. Pada gilirannya, di akhir 2016, Cina nampaknya akan melonggarkan target pertumbuhannya dengan mengendalikan kredit. Tentu saja hal ini akan berimbas pada hubungan Indonesia-Cina yang selama ini didominasi oleh transaksi ekspor-impor dan investasi yang cukup besar Cina di Indonesia.

Di lain pihak, kondisi ekonomi AS juga mengalami pelambatan yang signifikan. Pertumbuhan PDB negeri Paman Sam tersebut sebesar 1,3 Persen (y-o-y) atau 1,4 persen, yang notabene berada di bawah ekpektasi. Hal ini ditindaklanjuti dengan kebijakan menaikkan suku bunga yang sebelumnya tidak terjadi selama 1 tahun belakangan ini.

Fenomena kesuksesan Donald Trump menduduki pucuk kekuasaan pemerintahan AS tentu juga mengalami efek yang tidak kecil. Dengan gaya dan postur republikannya, Trump sudah meggadang-gadang akan memangkas pajak bagi kalangan berpenghasilan tinggi demi menstimulasi pertumbuhan ekonomi di tingkat elit.

Namun tentu saja akan berimbas pada penurunan pendapatan pemerintah AS, sebab di satu sisi akan memberi insentif bagi swasta, di sisi lain akan akan memperparah ketimpangan pendapatan.

Trump juga terkenal proteksionis agresif terhadap perdagangan dengan Meksiko dan Cina. Sebuah kebijakan yang akan berimbas pada negara-negara yang selama ini menjalin hubungan dagang dengan Cina, semisal Indonesia. Kebijakan proteksionis agresif ditambah lagi dengan kebijakan yang tertutup akan menyebabkan tingkat ketidakpastian bagi ekonomi dunia secara global.

Indonesia tentu akan memperoleh imbas signifikan, khususnya dari sektor fiskal. Selama ini, pendapatan dalam negeri sangat bergantung pada pemasukan pajak, sebesar 80 persen dari keseluruhan APBN. Sementara itu, selama ini pula target penerimaan pajak jauh dari realisasi target yang dicanangkan.

Kita mengapresiasi sepenuhnya terobosan pemerintah melalui kebijakan program tax amnesty. Pemerintah begitu antusias dan menunjukkan kesungguhan yang luar biasa dalam mengawal program tersebut.

Prediksi kita, program ini akan menghasilkan pemasukan dana repatriasi sebesar Rp 180 triliun sebagaimana prediksi Bank Indonesia. Dari dana tersebut, 30 persen akan masuk ke dalam sektor riil yang akan menstabilkan daya beli dan konsumsi masyarakat secara umum. Hal ini diprediksi akan menyumbang 0,3 persen pertumbuhan pada 2017.

Kita berharap stimulus fiskal akan terus terjamin pada tahun depan. Program tax amnesty adalah salah satu poin penting dalam mereformasi sumber pemasukan negara (pajak). Kita perlu memberi dukungan penuh. Tentu saja dana repatriasi yang selama ini diterima tersalurkan dengan baik di kantong-kantong sektor riil.

Demikian pula, kita berharap pada gerak laju investasi saat ini bisa berlangsung dengan baik. Kondisi dalam negeri harus tetap kita jaga, agar suasana yang kondusif dapat memberi kepercayaan yang tinggi bagi investasi di berbagai sektor. Dukungan dari seluruh komponen bangsa akan memastikan target pertumbuhan 2017 akan sesuai dengan rencana.


Twitter Dpr

Parlementaria

Berita, fakta dan informasi mengenai seputar yang terjadi di DPR-RI