Potensi Gelombang Ketiga Covid-19, Pakar Bilang Begini Soal Pemicunya

Munculnya gelombang Covid-19 ketiga atau gelombang-gelombang berikutnya sangat tergantung pada masyarakat.

Eleonora PEW | Rahmat jiwandono
Sabtu, 23 Oktober 2021 | 16:40 WIB
Potensi Gelombang Ketiga Covid-19, Pakar Bilang Begini Soal Pemicunya
Epidemiolog UGM dr Riris Andono. [Dok. Kagama.co]

SuaraJogja.id - Gelombang ketiga Covid-19 di Indonesia diprediksi terjadi pada Desember 2021 sampai Januari 2022. Sampai saat ini kasus Covid-19 berdasarkan data Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 hingga Jumat (22/10/2021) pukul 12.00 WIB menunjukkan, ada penambahan 760 kasus baru.

Total kasus Covid-19 di Indonesia saat ini mencapai 4.238.594, terhitung sejak kasus pertama diumumkan Presiden Joko Widodo pada 2 Maret 2020.

Pakar epidemiologi UGM dr Riris Andono Ahmad menyebutkan bahwa gelombang ketiga Covid-19 adalah sebuah keniscayaan. Namun, seperti apa kondisi gelombang ketiga itu tergantung dengan situasi dan kondisi.

“Kemungkinan adanya gelombang Covid-19 berikutnya adalah sebuah keniscayaan. Tinggal pertanyaanya itu kapan terjadi dan seberapa tinggi ini sangat tergantung dengan situasi yang berkembang di masyarakat,” ungkapnya pada Sabtu (23/10/2021).

Munculnya gelombang Covid-19 ketiga atau gelombang-gelombang berikutnya sangat tergantung pada masyarakat. Menurutnya, mobilitas, interaksi sosial, dan kepatuhan dalam implementasi 5M yakni menjaga jarak, mencuci tangan, menghindari kerumunan, membatasi mobilitas, serta memakai masker di masyarakat merupakan situasi bisa memicu gelombang Covid-19 ketiga nantinya.

Direktur Pusat Kajian Kedokteran Tropis UGM ini menyampaikan, virus corona masih terus ada dan tidak sedikit orang yang tidak memiliki kekebalan. Sementara, pada orang yang telah mendapatkan vaksin Covid-19, kekebalan yang didapat pun akan menurun seiring berjalannya waktu.

“Jadi tidak hanya satu kali gelombang tiga lalu berhenti. Tapi akan terjadi lagi selama virus masih ada dan bersirkulasi secara global,” katanya.

Ihwal vaksinasi, ujar dia, beberapa negara dengan cakupan vaksinasi realtif tinggi seperti Israel, Inggris, Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa saat ini pun tengah berjuang kembali dengan Covid-19 akibat varian Delta. Dijelaskan Doni, panggilannya, saat ada varian Delta dengan tingkat penularan lebih tinggi membutuhkan cakupan imunitas yang lebih tinggi dalam populasi.

"Misalnya sebelum adanya varian Delta untuk mendapatkan kekebalan kelompok sekitar 70 persen populasi harus sudah divaksin," tuturnya.

Namun, sejak adanya varian Delta, maka cakupan vaksinasi ditingkatkan menjadi 80 persen. Kondisi tersebut dengan anggapan bahwa vaksin yang diberikan memiliki efektvitas 100 persen.

"Dengan kondisi seperti itu artinya vaksinasi di Indonesia untuk bisa mencapai 80 persen mensyaratkan sekitar 230 juta penduduk harus divaksin. Dalam pelaksanannya pun sebaiknya dilaksanakan dalam waktu kurang dari enam bulan agar bisa terwujud kekebalan kelompok (herd immunity)," kata dia.

Dia menilai skenario seperti itu sulit terealisasi. Apabila memang bisa tercapai tetapi herd immunity pun hanya bisa bertahan sesaat.

“Ini kan sulit, misalnya sanggup pun kekebalan kelompok hanya bertahan beberapa saat dan akan terus berkurang,” ucapnya.

Karena itu, Riris berharap supaya masyarakat untuk tetap waspada dan tidak lengah. Meskipun saat ini kondisi membaik, tetapi pandemi belum usai. Sebab risiko penularan masih ada, terlebih saat adanya pelonggaran aktivitas di masyarakat.

“Saat penularan tinggi dilakukan intervensi besar-besaran dengan PPKM. Begitu terkendali aktivitas dilonggarakan karena tidak mungkin terus PPKM karena akan melumpuhkan perekonomian. Namun pelonggaran ini berisiko penularan akan meningkat lagi,” kata dia.

Dia kembali mengimbau kepada masyarakat untuk tetap patuh menerapkan protokol kesehatan. Sementara pemerintah diminta untuk memperkuat 3T yakni testing, tracing, dan treatment.

"Jadi kedua hal ini harus berjalan beriringan," ujarnya.

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak