Reuni 212 Disebut Bukan Gerakan Keagamaan, Bawaslu Diminta Bertindak

"Reuni 212 di Monas kemarin bukan gerakan moral keagamaan, tetapi itu jelas gerakan oposisi untuk meraih kekuasaan,"

Rabu, 05 Desember 2018 | 14:27 WIB
Reuni 212 Disebut Bukan Gerakan Keagamaan, Bawaslu Diminta Bertindak
Diskusi membahas Reuni 212 di Gado-gado Boplo, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (5/12/2018). (Suara.com/Erick Tanjung)

Suara.com - Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) Boni Hargens menilai, aksi reuni 212 di lapangan Monas, Jakarta Pusat bukan gerakan moral keagamaan murni. Namun gerakan kampanye politik untuk mendukung pasangan Calon Presiden Nomor Urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

"Reuni 212 di Monas kemarin bukan gerakan moral keagamaan, tetapi itu jelas gerakan oposisi untuk meraih kekuasaan," kata Boni dalam sebuah diskusi di Gado-gado Boplo, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (5/12/2018).

Menurutnya, kegiatan kelompok 212 jadi gerakan kekuasaan terlihat dari kontrak politik atau Pakta Integritas GNPF (Gerakan Nasional Pengawal Fatwa) yang diteken Prabowo-Sandi. Reuni 212 itu merupakan bagian dari skenario kampanye politik untuk mendukung paslon nomor 02 dan ingin mengalahkan petahana Presiden Joko Widodo atau Jokowi.

Kemudian saat acara Reuni 212, ada pengelompokan massa pendukung capres, ada simbol kampanye berupa spanduk dan hadir Calon Presiden Prabowo Subianto. Selain itu, ada pemutaran lagu 2019 ganti presiden. Kemudian ada telepidato dengan Rizieq Shihab tentang tidak boleh memilih partai penista agama, serta orasi Tengku Zulkarnain yang mengkritisi kinerja Pemerintahan Jokowi.

"Itu adalah bukti bahwa kegiatan Reuni 212 telah digeser dari gerakan moral menjadi gerakan kampanye,” ujar dia.

Oleh sebab itu, ia meminta Bawaslu untuk menindak kegiatan Reuni 212 tersebut. Sebab gerakan itu melanggar Pasal 275 dan 276 dalam UU No 7/2007 tentang Pemilu yang menetapkan bahwa kampanye dalam bentuk rapat umum dilakukan 21 hari sebelum masa tenang.

“Jadi, ini jelas curi start kampanye dan melanggar aturan pemilu. Bawaslu harus melakukan penyelidikan lapangan untuk melakukan evaluasi faktual yang obyektif. Bawaslu tidak bisa menarik kesimpulan berdasarkan pengamatan di media,” terang dia.

Sejauh ini, lanjut dia, Bawaslu bias dan permisif dengan pelanggaran tersebut dengan membuat kesimpulan prematur bahwa reuni 212 tidak melanggar aturan kampanye. Bawaslu membuat kesimpulan dengan mengabaikan fakta lapangan yang ada.

"Ini jelas sinyalemen buruk bahwa jangan-jangan Bawaslu sudah masuk angin atau terlibat dalam permainan kepentingan praktis. Sehingga tidak berlaku obyektif dalam mengevaluasi segala bentuk potensi pelanggaran pemilu," imbuh dia

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

NEWS

TERKINI