DPR: Negara Wajib Lindungi Korban Eksekusi Luwuk
Penggusuran paksa Tanjung Sari dipicu oleh perkara hukum perdata.
Suara.com - Komisi III DPR meminta instansi terkait, dalam hal ini gubernur, Kapolda, BPN, bupati dan DPRD untuk melindungi hak-hak keperdataan warga di Tanjung Sari, Luwuk, Banggai, Sulawesi Tengah, yang merupakan korban eksekusi yang memiliki Alas Hak yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
“Negara harus beri jaminan, karena kepemilikan sertifikat merupakan bukti tertinggi dalam status hak tanah. Jangan sampai Presiden Jokowi bagi-bagi sertifkat, tapi di sisi lain ada aparat yang mengabaikan status kepemilikan itu. Mudah-mudahan lahan sengketa di Luwuk ini kasus yang terakhir,” ungkap anggota tim kunjungan kerja Komisi III, Supratman Andi Agtas, usai berdialog dengan korban eksekusi, Ketua Pengadilan Tinggi Sulteng, Kajati Sulteng, Kapolda Sulteng, pejabat yang mewakili Gubernur Sulteng, Kakanwil Badan Pertanahan Nasional Sulteng dan Bupati Banggai di Kantor Bupati, Luwuk, Banggai, Selasa (10/4/2018).
Suprataman mengatakan, tujuan pembagian 5 juta sertifikat yang dilakukan Jokowi untuk memberi kepastian hak atas kepemilikan lahan. Namun di sini, Pengadilan Negeri (PN) Luwuk melakukan eksekusi secara sepihak di lahan Tanjung Sari, Luwuk, Banggai, tanpa berkoordinasi dan melihat objek lahan.
“Masa ada di wilayah kita, yang masyarakat memiliki Alas Hak kepemilikan tanah tapi di eksekusi paksa oleh Pengadilan Negeri, ini tidak boleh diabaikan. Makanya Komisi III datang ke Luwuk untuk melihat situasi terkini dan kondisi objektif pasca pelaksaan eksekusi. Kami konsen terhadap objek yang masih memiliki hak yang sah berdasarkan peraturan perundang-undnagan,” tegasnya.
Politisi Partai Gerindra itu mengaku, pihaknya akan mencarikan solusi kepemilihan hak rakyat. Terlebih, ia menilai adanya kesewenangan yang dilakukan PN dalam pelaksaan eksekusi ini melampaui batas putusan Mahkamah Agung (MA).
“Kita carikan solusi, bagaimana masyarakt diberi kesempatan untuk melakukan hal-hal yang berkaitan dengan status kepemilikan lahan yang mereka miliki. Negara harus hadir untuk melindungi itu. Untuk itu kami juga meminta Badan Pengawas Mahkamah Agung untuk memeriksa panitera PN Banggai selaku eksekutor dan seluruh jajaran terkait eksekusi tersebut,” tegasnya.
Sementara itu, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan, konflik agraria di Banggai tersebut pada dasarnya merupakan sengketa perdata antara dua pihak yang seharusnya tidak melibatkan tanah dan permukiman warga. Namun, ketidakjelasan putusan objek sengekta oleh PN Luwuk mengakibatkan objek putusan meluas ke rumah dan pemukiman warga.
Sedikitnya, ratusan unit rumah warga dan 343 KK, yang terdiri dari 1591 jiwa telah menjadi korban dari penggusuran sepihak tersebut. Dalam penggusuran secara sepihak ini telah banyak terjadi pelanggaran secara administrasi dan hak asasi manusia, termasuk hak atas tanah dalam proses penggusuran tersebut.
Sebagaimana diketahui, penggusuran paksa Tanjung Sari dipicu oleh perkara hukum perdata, alias perebutan hak kuasa atas tanah yang telah banyak menempuh prores persidangan. Proses ini juga telah sampai di tingkat MA. Namun, dari semua keputusan itu, tidak dinyatakan secara tegas perintah eksekusi atas tanah perkara.