Pimpinan DPR: Sumpah Pemuda Benteng Ancaman Global
Dimana, banyak pihak mengartikan Pilpres tersebut sebagai perjuangan hidup mati mempertahankan eksistensi kelompok.
Suara.com - Sumpah Pemuda sebagai rangka membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) agar terhindar dari segala ancaman global. Sebab, Indonesia berdiri di atas landasan nilai, yang berfungsi sebagai pengikat segala macam perbedaan yang ada.
Demikian disampaikan Wakil Ketua DPR, Azis Syamsuddin, melalui rilisnya, Jakarta, Minggu (27/10/2019).
Azis mengenang, Prof. Sunario Sastrowardoyo sebagai salah satu penggagas Sumpah Pemuda tahun 1928 yang menyebut, nilai persatuan dan kebangsaan Indonesia tidak dilatari oleh faktor kultural, ras, wilayah atau agama tertentu saja.
"Tapi justru kompleksitas perbedaan itu diletakkan di atas landasan perasaan senasib sepenanggungan. Perasaan inilah yang mengikat semua jenis perbedaan yang sangat banyak di Indonesia," kenang Azis.
Baca Juga: DPR Sebut Indeks Daya Saing Indonesia Turun Dibanding Negara Tetangga
Sayangnya, kata Azis, beberapa tahun terakhir ini, bangsa Indonesia gagap mendefinisikan dinamika politik dalam konteks Pilpres. Dimana, banyak pihak mengartikan Pilpres tersebut sebagai perjuangan hidup mati mempertahankan eksistensi kelompok.
"Maka tak ayal, kekacauan makna pun terjadi. Jargon-jargon “perang” justru muncul pada konteks damai; konteks perjanjian dagang dan investasi antar negara diartikan sebagai aneksasi, dan konteks Pemilu diartikan sebagai revolusi," kata Azis.
Akibatnya, nilai persatuan bangsa Indonesia terguncang hebat. Dimana, konteks bergerak liar dan nilai suatu pendapat ataupun tindakan digantungkan pada keberpihakan politik. Bahkan -yang paling mencemaskan dari semuanya- kaidah keilmuan pun dikebiri.
"Pendapat-pendapat dan analisis ilmiah yang berupa kritik ataupun apresiasi dicurigai memiliki tendensi, dimasukkan dalam konteks politik dan pilpres yang bergerak demikian dinamis," tegas Azis.
Kata Azis, saat ini bangsa Indonesia kehilangan gugus makna Sumpah Pemuda. Salah satu contoh, rekonsiliasi yang dilakukan Presiden Jokowi dan Prabowo Subianto dianggap melanggar kode etik politik.
Baca Juga: Pulih 80 persen, Faisal Amir Korban Demo di DPR Sambangi Balai Kota
"Sehingga meski keduanya bersatu dalam satu kerangka kerjasama, langkah politik mereka dipahami sebagai sebuah ambivalensi yang melanggar keadaban politik. Demikian juga ketika para elit politik bersatu dan duduk bersama dalam satu kabinet kerja, tidak sedikit pihak yang kecewa," kata Azis.