Negara harus Hati-hati Selesaikan Masalah Keagamaan

Fabiola Febrinastri | Dian Kusumo Hapsari
Negara harus Hati-hati Selesaikan Masalah Keagamaan
Wakil Ketua Komisi VIII Ace Hasan Syadzily. (Dok : DPR).

Istilah radikalisme kerap mengundang perdebatan.

Suara.com - Presiden Joko Widodo akan mewacanakan mengganti istilah radikalisme agama dengan manipulator agama. Menanggapi wacana itu, Wakil Ketua Komisi VIII Ace Hasan Syadzily, yang membidangi urusan agama angkat bicara. Menurutnya, istilah radikalisme kerap mengundang perdebatan.

“Istilah radikalisme ini masih menjadi perdebatan baik di dalam perspektif akademik maupun dari segi praktik-praktik politik. Itu tidak hanya berlaku pada Islam saja tetapi juga agama-agama lain. Dan juga bukan cuma aspek agama tetapi juga radikalisme terhadap chauvanisme, suku, ras dan lain-lain,” demikian jelas Ace dalam rilis yang diterima Parlementaria, Senin (4/11/2019).

Ace menjelaskan, radikalisme agama adalah kekerasan yang dilakukan dengan mengatasnamakan agama tertentu. Padahal agama tidak mengajarkan itu. “Intinya adalah kekerasan yang sering terjadi kerap kali disebabkan dibenturkan antara pemahaman keagamaan yang bisa jadi itu dijadikan sebagai instrumen untuk meraih hal-hal di luar semangat keagamaan, sehingga dengan mudah orang melakukan kekerasan atas nama agama. Padahal sejatinya dalam agama kan seharusnya tidak boleh melakukan kekerasan,” papar Ace.

Lebih lanjut, politisi Fraksi Partai Golkar itu menyatakan bahwa radikalisme sangat berbahaya karena melanggar nilai-nilai dalam agama itu sendiri. “Karena hal tersebut selain bisa meruntuhkan sendi-sendi agama, tetapi lebih daripada itu adalah melanggar nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai keagamaan itu sendiri,” lanjut Ace.

Baca Juga: Ketua DPR Usulkan Konsep Perdagangan Internasional Adil dan Terbuka

Menurut Ace, dalam upaya melawan radikalisme, peran organisasi masyarakat (ormas) keagamaan Islam sangat dibutuhkan, terutama ormas-ormas yang sudah bersepakat menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Keberadaan ormas tersebut, lanjut Ace, harus terus diberdayakan dengan melibatkan dalam kegiatan dakwah.

Ace mengingatkan pemerintah untuk tidak mencampuri paham keagamaan masyarakat karena hal itu bisa menimbulkan resistensi terhadap pemerintah.

“Negara harus hati-hati dalam hal menyelesaikan masalah pemahaman keagamaan semacam ini. Jangan terlalu banyak, terlalu intervensi terhadap pemahaman keagamaan, biar itu menjadi domain dari kelompok civil society Islam. Kalau negara terlalu ikut campur, maka saya khawatir itu akan menimbulkan resistensi diantara masyarakat itu sendiri,” pungkas Ace. 


Twitter Dpr

Parlementaria

Berita, fakta dan informasi mengenai seputar yang terjadi di DPR-RI