Anggota Komisi II DPR RI Yakini Mafia Pertanahan Bisa Diselesaikan dengan Rekontruksi Pasal 17 UU KIP
Oleh karena itu, menurut Riyanta pasal 17 UU 14 Tahun 2008 harus dikontruksikan kembali dengan merevisinya.
Suara.com - Anggota Komisi II DPR RI, Riyanta mengungkapkan, sampai hari ini banyak sekali permintaan untuk mengadvokasi masyarakat yang menjadi korban kejahatan pertanahan. Informasi tersebut didapatnya dari LSM Gerakan Jalan Lurus (GJL) juga dari LSM Gerakan Anti Mafia Tanah (Gamat) yang aktif mengadvokasi masyarakat yang membutuhkan pemecahan atas masalah pertanahan.
“Ada hal yang sangat substansi ketika kita berbicara mengenai kejahatan pertanahan atau mafia tanah. Hemat saya, itu dapat diselesaikan dengan merekontruksikan lagi pasal 17 Undang-Undang 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP),” ujarnya kepada Parlementaria, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (17/5/2022).
Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu melanjutkan, pasal 17 UU 14 Tahun 2008 menjelaskan bahwa dokumen warkah atau dokumen yang menjadi dasar penerbitan sertifikat tanah itu menjadi dokumen yang dikecualikan atau dianggap bukan dokumen publik. Dalam ketentuannya, dokumen warkah itu yang memilikinya hanya pemilik sertifikat.
Hal tersebut akan menjadi persoalan ketika dokumen warkah yang dijadikan dasar oleh pemohon sertifikat ternyata palsu atau dipalsukan. Kemudian, warga negara yang lebih berhak secara hukum, oleh undang-undang diberikan suatu ruang untuk melihat dokumen warkah. Namun, di pihak lain yang dalam perolehan sertifikat dengan cara ilegal, justru dilindungi oleh hukum.
Baca Juga: Pengamat Sebut Kinerja Puan Sudah Teruji: Dia Memenuhi Kriteria Seorang Pemimpin
Oleh karena itu, menurut Riyanta pasal 17 UU 14 Tahun 2008 harus dikontruksikan kembali dengan merevisinya. “Jadi ketika itu dibuka secara fair oleh badan yang menyelesaikan sengketa atau BPN atau aparat kepolisian maupun pengadilan. Adu data ini bisa dilakukan oleh para pihak yang bersengketa dengan difasilitasi oleh negara,” terangnya.
Di sisi lain, Riyanta berpandangan perlu ada lembaga khusus yang menangani masalah pertanahan seperti Densus 88 di Kepolisian yang khusus menangani masalah terorisme. “Kejahatan pertanahan persoalannya sangat banyak. Perlu satu lembaga khusus bisa saja pada lembaga Polri ada direktorat khusus yang menangani masalah pertanahan. Atau di BPN ada PPNS (Penyidik PNS). Tinggal bagaimana sistem yang dibangun oleh pemerintah. Paling tidak ide-ide segar dalam menyelesaikan kejahatan-kejahatan pertanahan secara jernih bisa dilakukan,” pungkasnya.