Kurtubi, Sosok yang Tepat di Komisinya
Ahli bidang perekonomian sumber daya mineral ini juga punya pengalaman praktis di korporasi.
Suara.com - Sosok ahli ekonomi dengan spesialisasi bidang sumber daya mineral ini mungkin sudah tidak asing lagi bagi banyak orang. Dr H Kurtubi SE MSp MSc, nama lengkapnya, adalah anggota dewan yang saat ini duduk di Komisi VII DPR RI, dengan ruang lingkup energi dan sumber daya mineral, riset dan teknologi, serta lingkungan hidup.
Tentu saja, jika menilik bidang kerjanya yang bermitra antara lain dengan Kementerian ESDM, BPPT, BPH Migas, SKK Migas dan lain-lain itu, Kurtubi adalah sosok yang tepat berada di komisinya. Anggota Fraksi Partai Nasdem dari daerah pemilihan Nusa Tenggara barat (NTB) itu memang dikenal lama beraktivitas di dunia mineral dan pertambangan, baik di korporasi maupun sebagai pakar dan pengamat.
Terlahir di NTB pada 9 April 1951 lalu, Kurtubi sudah akrab dengan dunia ekonomi berkat latar belakang ilmunya dari Akademi Ilmu Statistik (1973-1977) dan Finance di Fakultas Ekonomi (FE) UI (1982-1986). Sementara di jenjang berikutnya, dia pun tercatat memperdalam ilmunya pada bidang Mineral Economis di Colorado School Of Mines (CSM), AS, mulai 1992 hingga 1998, dari jenjang master hingga doktor.
Sementara untuk aktivitas, sebelum terjun ke dunia politik dan menghuni lembaga legislatif, Kurtubi antara lain diketahui pernah bertugas di PT Pertamina (Persero) sebagai Staf Ahli Dewan Komisaris pada periode 1977-2006. Dia juga pernah menjabat di PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) sebagai Komisaris pada 2000-2013. Selain itu, dia juga dikenal sebagai pakar dan pengamat perminyakan serta pertambangan, yang kerap berbicara kritis mengenai perekonomian dan dunia pertambangan Indonesia.
Tetap Kritis di DPR
Kini, dengan duduk sebagai anggota dewan, sikap kritis Kurtubi pun tidak menghilang, malah seakan menemukan saluran yang lebih kuat dengan statusnya sebagai legislator. Walau demikian, tidak semata-mata kritik yang dilontarkannya terutama kepada pemerintah, namun juga kerap berisi masukan dan pemikiran khususnya mengenai dunia pertambangan Indonesia.
Salah satu yang belum lama ini sempat dikomentari Kurtubi misalnya adalah mengenai rencana pemerintah untuk kembali masuk menjadi anggota negara pengekspor minyak dunia (Organization of Petroleum Exporting Countries/OPEC). Dalam hal ini, Kurtubi melontarkan banyak kritik, termasuk dengan menyebutnya bagaikan "sedang bermimpi di siang bolong".
"Mau ngapain masuk ke OPEC? Orang kita masih impor minyak. Terus katanya bisa menjadi anggota peninjau (observer). Ya, itu enggak masalah. Tapi enggak ada manfaatnya, cuma bisa jadi kambing congek saja. Kan enggak punya suara. Semua juga bisa jadi peninjau, kalau ada izin dari OPEC," ungkap Kurtubi, dalam sebuah diskusi di Jakarta, awal Juni 2015 lalu.
Lebih jauh dalam kesempatan itu, Kurtubi menjelaskan bahwa rencana ini bagaikan "mimpi di siang bolong". Hal itu menurutnya lantaran produksi minyak Indonesia yang belakangan selalu menurun dan malah mengandalkan impor untuk kebutuhan dalam negeri.
"Indonesia keluar dari OPEC itu memalukan. Sekarang, pemerintah ingin kembali. (Itu) Bagaikan mimpi di siang bolong," tegasnya.
"Kalau memang mau masuk lagi ke OPEC, benahi dulu produksi cadangan minyaknya. Belum diperbaiki kok sudah mau masuk ke OPEC. Kalau sudah dibenerin, saya yakin Indonesia akan mampu masuk ke dalam OPEC. Pasalnya, cadangan minyak dan gas bumi yang ada di Indonesia maupun di dunia sangat besar," sambungnya.
Hal lain yang menjadi sorotan Kurtubi belum lama ini adalah soal SKK Migas yang direncanakan hendak diubah menjadi BUMN khusus. Dalam hal ini, Kurtubi mengingatkan bahwa status tersebut akan membuatnya hanya akan bergerak di sektor hulu, dan dengan demikian tata kelola migas jadi tak efisien.
"Kami menolak keras dikonversinya SKK Migas jadi BUMN khusus. Sebab ini akan menciptakan sistem yang ribet. Jangan banyak cabangnya. Kelola minyak dan gas itu harus satu, dikelola oleh perusahaan negara," papar Kurtubi pula.
Menurut Kurtubi, untuk mengelola sektor hulu dan hilir minyak dan gas di Indonesia, sebenarnya cukup dengan satu perusahaan milik negara saja yakni PT Pertamina. Artinya, tidak perlu membentuk perusahaan BUMN khusus untuk mengelola sektor migas.
"Kalau nanti bentuk perusahaan baru, ini akan terjadi tumpang tindih kepentingan dengan Pertamina. Akhirnya, pengelolaan minyak dan gas di sektor hulu dan hilir bermasalah, malah bikin ribet dan ruwet lagi," jelasnya.
"Jangan jadikan negara dan masyarakat ini sebagai sebagai bahan eksperimen. Dulu kan sudah pernah gagal eksperimen pertama, pembentukan BP Migas ke SKK Migas. Akhirnya berbenturan kan. Jadi jangan jadikan ini eksperimen lagi," tambahnya.
Sementara di bagian lain, Kurtubi sempat menyatakan menyambut baik rencana pemerintah yang akan mengubah status Kontrak Karya (KK) milik PT Freeport Indonesia menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Dia menjelaskan, jika Freeport masih menggunakan sistem KK, maka posisi negara dengan Freeport sama rata, dan ini membuat Freeport bisa leluasa menolak peraturan pemerintah, misalnya soal naiknya besaran royalti.
"Tanggapan saya, itu langkah bagus. Langkah maju, karena pemerintah jadi punya kontrol terhadap perusahaan tersebut. IUPK itu memposisikan negara lebih tinggi dari Freeport. Ini baik sekali," tegas Kurtubi, di Gedung DPR RI, Senayan, beberapa hari lalu, sembari mengingatkan pula adanya beberapa kelemahan yang perlu diantisipasi dari rencana itu. [Dian Kusumo Hapsari]