Anggaran Kesehatan Penuhi Amanat UU, Tapi Minim Capaian
Sejumlah utang regulasi tersebut mengakibatkan kerja sektor kesehatan pemerintahan Jokowi tidak maksimal.
Suara.com - Dua tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo di bidang kesehan dapat sorotan. Sesuai amanat UU Kesehatan, alokasi anggaran kesehatan sebesar lima persen sudah terpenuhi. Tapi, sayangnya tak diikuti dengan capaian yang membanggakan di sektor ini, demikian diutarakan anggota Komisi IX DPR Okky Asokawati, Senin (24/10/2016).
“Alokasi anggaran kesehatan di era Pemerintahan Jokowi telah memenuhi amanat UU, yakni melebihi angka lima persen dari APBN atau mengalami kenaikan sebesar 182 persen dari anggaran sebelumnya. Hal ini tentu patut kita apresiasi. Namun, besaran anggaran kesehatan sayangnya tidak berbanding lurus dengan capaian di bidang kesehatan,” katanya.
Politisi PPP ini mencontohkan angka anak pendek karena kekurangan gizi (stunting) sudah mencapai 30 persen. Padahal, merujuk WHO, angka ideal mestinya di bawah 20 persen. Laju pertumbuhan penduduk juga terus meningkat. Mestinya, kata Okky, jika tahun 2030 Indonesia ingin memaksimalkan bonus demografi, maka syarat utama penduduknya harus sehat. Ini harus segera diatasi.
Kementerian Kesehatan, kata Okky, masih memiliki banyak tunggakan aturan turunan pelaksana UU berupa Peraturan Pemerintah yang belum dituntaskan. Seperti PP dari UU Kesehatan Jiwa, PP UU Rumah Sakit khususnya RS yang menolak pasien, dan PP Doker Layanan Prima seperti diamanatkan UU Pendidikan Kedokteran.
“Sejumlah utang regulasi tersebut mengakibatkan kerja sektor kesehatan pemerintahan Jokowi tidak maksimal. Presiden harus mengontrol para pembantunya agar bergerak cepat dalam kerja legislasi,” kata Okky.
Ditambahkan Sekretaris Dewan Pakar PPP, dengan anggaran yang meningkat, mestinya Kemenkes punya banyak terobosan kebijakan. Penempatan dokter/tenaga kesehatan di luar Jawa hingga kini masih bermasalah. Faktanya, ada disparitas dokter/tenaga kesehatan antara Jawa dan Luar Jawa. Dan program Nusantara Sehat yang digulirkan pemerintah, kini sepi peminat.
Pada bagian lain, Okky mendorong Kemenkes gencar melakukan penelitian dan pengembangan dengan melibatkan universitas dan perusahaan swasta terkait dengan pemberdayaan tumbuh-tumbuhan sebagai bahan produksi obat-obatan. Sektor ini belum digarap serius. Padahal, Indonesia sangat kaya dengan tumbuh-tumbuhan herbal.
Dalam layanan BPJS Kesehatan, juga masih banyak ditemukan pasien ditolak RS. “Ini salah satunya karena paket INA CBGs (sistem pembayaran dengan sistem paket, berdasarkan penyakit yang diderita) yang dinilai tidak menguntungkan RS.
“Pemerintah mestinya melakukan terobosan. Misalnya dengan memberi insentif pajak bagi RS yang menjadi mitra BPJS,” kata Okky.