Wakil Ketua DPR: Sistem Kepemimpinan Rumit adalah Demokrasi

Fabiola Febrinastri
Wakil Ketua DPR: Sistem Kepemimpinan Rumit adalah Demokrasi
Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah. (Sumber: Istimewa)

Suara rakyat bersifat tidak bisa diprediksi karena bisa berubah-ubah suatu saat.

Suara.com - Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah, mengatakan, sistem kepemimpinan yang paling rumit adalah demokrasi. Berbeda dengan sistem otoriter, yang sangat kokoh karena dasarnya tidak bisa didebat.

"Otoritarianisme, misalnya raja, yang sumber power-nya adalah darah (dalam defenisi macam-macam), sangat kuat. Tapi dalam demokrasi, suara rakyat, dan ini paling goyang," katanya, saat berbicara dalam acara "Netizen #NgopiBarengFahri" di bilangan Duren Sawit, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Suara rakyat itu, lanjut Fahri, sama dengan kurs mata uang, atau seperti harga saham di capital market yang follow tail (mengikuti) sifatnya. Dalam artian, suara rakyat bersifat tidak bisa diprediksi karena bisa berubah-ubah suatu saat.

"Pagi Anda menang di pemilu, besoknya akseptabilitas atau kepuasan publik, bisa-bisa sudah turun dari berapa suara yang memilih. Pak Jokowi sekarang, kepuasan publiknya ada di bawah 50. Padahal waktu terpilih di atas 50. Follow tail suaranya. Kenapa? Karena sumbernya adalah persetujuan rakyat melalui kotak suara," ujarnya.

Karena hal ini bersifat follow time, maka menurut politisi dari PKS itu, diperlukan pemimpin yang luas pemahamannya, pengertian dan kapasitasnya untuk menjalankan sistem ini agar lebih efektif. Fahri mengambil contoh, demokrasi ibarat smartphone yang memiliki banyak fitur dan sangat kompleks.

"Nah, problem kepemimpinan kita sekarang ini sama seperti smartphone, tapi sayangnya kapasitas pemimpinnya seperti handphone jadoel. Itu aja cara berfikirnya. Fitur yang dimengerti oleh Jokowi dan kawan-kawannya itu adalah jadoel, karena instrumen-instruennya tidak dipakai, sementara kita semua ini mengertinya smartphone," tambahnya lagi.

Satu fitur penting yang tidak dipakai oleh Jokowi adalah pemanfaatan mimbar istana. Seharusnya sebagai presiden, Jokowi memanfaatkan fitur itu untuk berbicara setiap hari kepada bangsa Indonesia, terkait pemasalahan yang dialami negaranya.

"Fitur itu harus dipakai, karena setiap pagi, rakyat menunggu apa yang akan dilakukan seorang presiden dan mau dibawa kemana bangsa ini. Makanya pemerintah setiap hari seperti orang panik, tidak mengerti harus melakukan apa, sehingga masalah yang lama berulang-ulang," kata Fahri.

Ia mencontohkan, fenomena masuknya berton-ton narkoba ke Indonesia, Jokowi sebagai presiden dinilainya tidak memiliki sense of crisis, tidak memberikan warning kepada pengirim. Bahkan ada hukum mati pun ditunda-tunda.

"Cara berpikir kompleks ini tidak ada dalam kepemimpinan saat ini, dan tim-tim nya juga tidak terlihat memberikan masukan yang benar kepada presiden, atau mungkin dikasih masukan nggak masuk-masuk," sindir Fahri.


Twitter Dpr

Parlementaria

Berita, fakta dan informasi mengenai seputar yang terjadi di DPR-RI