Menghentikan Ekses Pilkada Langsung

Fabiola Febrinastri
Menghentikan Ekses Pilkada Langsung
Bambang Soesatyo, DPR RI. (Sumber: Istimewa)

Eksesnya tak terbatas pada korupsi anggaran, tetapi juga terhadap manajemen Pemda.

Suara.com - Pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) secara langsung sebenarnya sudah ideal, karena menjadi wujud nyata kedaulatan rakyat. Namun sayang, kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpinnya belum dilengkapi pola atau mekanisme penyaringan yang ideal.

Akibatnya, Pilkada di banyak daerah gagal menghadirkan sosok pemimpin yang punya kompetensi, kredibilitas dan berintegritas. Bahkan praktik money politics atau politik transaksional makin masif dan gesekan antar kelompok, keluarga ataupun individu di akar rumput semakin mengkhawatirkan.

Negara, tentu saja, tidak boleh tinggal diam. Apalagi, belum ada yang tahu kapan ekses Pilkada langsung seperti yang dirasakan sekarang ini bisa dihentikan.

Sementara pada saat bersamaan sudah bermunculan aspirasi agar dilakukan koreksi terhadap mekanisme Pilkada. Aspirasi ini dimunculkan, karena rakyat di banyak daerah merasakan bahwa Pilkada langsung nyaris tidak memberi nilai tambah bagi kesejahteraan mereka.

Alih-alih menyejahterakan, tampilnya kepala daerah baru yang membawa tim suksesnya masuk dalam manajemen pemerintah daerah (Pemda) justru sering menghadirkan masalah. Mulai dari masalah kompetensi hingga perilaku koruptif.

Banyak kepala daerah tidak fokus membangun dan memenuhi kebutuhan daerahnya. Mereka lebih disibukan dengan 'menggoreng' semua mata atau pos anggaran dalam anggaran belanja pemerintah daerah (APBD). Warga di daerah hanya bisa bermimpi tentang akan tampilnya pemerintahan yang baik atau good governance.

Akibatnya, rakyat merasakan bahwa Pilkada langsung lebih sering menghadirkan ekses dibanding manfaat dan untuk menunjuk fakta tentang ekses Pilkada langsung itu, tidak sulit-sulit amat. Kementerian Dalam Negeri mencatat, sudah 77 Kepala daerah terjaring dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kemudian, sepanjang periode 2004-2017, tidak kurang dari 392 kepala daerah tersandung kasus hukum. Dari jumlah ini, sebanyak 313 kepala daerah tersangkut kasus korupsi.

Ini fakta dari ekses Pilkada langsung itu. Eksesnya tak terbatas pada korupsi anggaran, tetapi juga terhadap manajemen Pemda secara keseluruhan akibat kepala daerah bersangkutan menyandang status tersangka dan menghuni ruang tahanan di KPK.

Pelimpahan wewenang kepala daerah kepada wakilnya akan menghadirkan sejumlah konsekuensi yang tak mudah diadaptasi seluruh satuan kerja.


Twitter Dpr

Parlementaria

Berita, fakta dan informasi mengenai seputar yang terjadi di DPR-RI