DPR : Kementerian ESDM Tak Perlu Percepat Larangan Ekspor Nikel
Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2017 masih dianggap relevan.
Suara.com - Ketua DPR, Bambang Soesatyo menilai, Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2017, yang memuat ketentuan pelarangan ekspor bijih nikel kadar rendah dilakukan mulai 2022, masih relevan diberlakukan. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tak perlu mengeluarkan peraturan menteri untuk mempercepat pelarangan ekspor tersebut menjadi akhir Desember 2019.
"Sebagaimana hari ini disampaikan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), bahwa dari sisi pengusaha tambang nasional, mereka masih membutuhkan kuota ekspor sampai 2022, sebagaimana PP No. 1/2017. Menyambut aspirasi mereka, DPR akan segera mengirim surat kepada Kementerian ESDM sebagai respons atas penjelasan Dirjen Mineral dan Batu Bara, yang mengumumkan bahwa Kementerian ESDM akan mengeluarkan Peraturan Menteri yang intinya menghentikan insentif ekspor nikel bagi pembangun smelter per tanggal 1 Januari 2020," ujar Bamsoet, usai menerima pengurus APNI, di ruang kerja Ketua DPR, Jakarta, Senin (2/9/2019).
Pengurus APNI yang hadir antara lain, Ketua Umum, Komjen Pol (purn) Insmerda Lebang, Wakil Ketua Umum I, Wiratno, Sekretaris Umum, Meidy Katrin Lengkey, Bidang Humas Tri Firdaus, Bidang Perizinan, Al Maodudi, Bidang Lingkungan Maria Chandra dan Bidang SDM, I.D. Susantyo.
Ketua DPR ditemani anggota Komisi IV DPR, Robert Kardinal, anggota Komisi VII DPR, Fadel Muhammad, anggota Komisi XI DPR, Maruarar Sirait, dan Mukhammad Misbakhun.
Baca Juga: Ketua DPR : Peningkatan Kualitas Pendidikan, Tantangan Terbesar Indonesia
Bendahara Umum DPP Partai Golkar 2014 - 2016 ini minta Kementerian ESDM untuk lebih sensitif lagi dalam mendukung kelangsungan pengusaha tambang nasional. Jangan sampai karena kebijakan yang terburu-buru, malah menyebabkan kerugian besar bagi pengusaha nasional. Kementerian ESDM perlu membangun dialog dan kesepahaman dengan para pelaku tambang nasional.
"Dari perhitungan APNI, apabila pelarangan ekspor tersebut dipercepat, akan ada potensi kehilangan penerimaan negara dari ekspor sebesar 191 juta dolar AS. DPR, melalui Komisi XI akan mendalami hal ini, karena menyangkut potensi penerimaan negara," tutur Bamsoet.
Selain menghilangkan potensi penerimaan negara dari ekspor, Sekretaris Umum APNI, menambahkan, akan ada potensi kerugian terhadap pengusaha tambang nasional yang sedang progres membangun 16 smelter. Kerugian yang ditaksir mencapai Rp 50 triliun.
"Progres pembangunan 16 smelter sudah 30 persen. Target kami selesai pada 2022, sesuai PP No. 1 Tahun 2017. Modal pembangunan tersebut, salah satunya didapat dari keuntungan mengekspor nikel. Jika pelarangan ekspor dipercepat, pembangunan smelter tidak bisa dilanjutkan. Akibatnya, sekitar 15.000 tenaga kerja lokal yang berada di 16 smelter bisa jadi dirumahkan. Tidak beroperasinya 16 smelter di tahun 2022 juga membuat negara kehilangan potensi penerimaan mencapai USD 261,273 juta pertahun dari output produk smelter berupa NPI/FeNi," jelasnya.
Lebih jauh APNI menuturkan, saat ini mereka juga tak bisa menjual bijih nikel ke investor asing yang membangun smelter di dalam negeri, lantaran selisih harga yang sangat rendah dibanding ekspor. Sebagai gambaran, harga wet metric ton (WMT) free on board Tongkang (lokal) bijih nikel kadar Ni 1,7 persen sebesar 15 dolar AS, sedangkan harga free on board vessel (ekspor) sebesar 35 dolar AS.
Baca Juga: Ketua DPR : Perayaan HUT DPR Jadi Momentum Emas Saling Berinteraksi
Jika dijual di market domestik, APNI mengaku rugi karena cost produksinya saja mencapai 16,57 dolar AS WMT, di luar biaya perizinan, pembangunan sarana, PPN dan lainnya.