Pemerintah Diminta Tinjau Ulang Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Fabiola Febrinastri | Dian Kusumo Hapsari
Pemerintah Diminta Tinjau Ulang Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan
Anggota Komisi IX DPR RI Ashabul Kahfi. (Dok : DPR).

Sekarang, kata Kahfi, betapapun ringannya sakit yang dirasakan, langsung mau ke puskesmas atau klinik BPJS Kesehatan.

Suara.com - Anggota Komisi IX DPR RI Ashabul Kahfi meminta Pemerintah meninjau ulang kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Aturan ini diteken Presiden Joko Widodo dan diundangkan pada 24 Oktober 2019, serta berlaku sejak tanggal yang sama.

Kenaikan paling signifikan terjadi pada jenis kepesertaan mandiri atau Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP). Iuran peserta mandiri kelas 1 dan 2 naik dua kali lipat, dari semula Rp 80 ribu dan Rp 55 ribu jadi Rp 160 ribu dan Rp 110 ribu. Iuran peserta kelas 3, naik dari Rp 25.500 jadi Rp 42 ribu. Sementara Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan dinaikkan subsidinya dari Rp 23 ribu jadi Rp 42 ribu.

Menurut Kahfi, kebijakan itu akan semakin menyulitkan bagi rakyat kecil, dan membebani APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota. “Kenaikan BPJS Mandiri akan membuat masyarakat kecil harus mengurangi pengeluaran beli makanan bergizi, yang seharusnya berperan dalam pencegahan penyakit. Kenaikan PBI, juga akan membebani Pemerintah Daerah, karena tak semua PBI ditanggung APBN, ” ujar Kahfi dalam rilis yang diterima Parlementaria, Kamis (31/10/2019).

Kahfi berpendapat, seharusnya Kabinet Indonesia Maju yang baru dilantik, diberikan waktu untuk bekerja terlebih dahulu. Dalam pengamatan Kahfi, Menteri Kesehatan yang baru,  Terawan Agus Putranto sedang mencari jalan keluar. Langkah awal Menkes, dengan menyumbangkan gaji dan tunjangan pertamanya sebagai menteri untuk menutupi defisit BPJS.

Baca Juga: Paripurna DPR Setujui Idham Azis Jabat Kapolri

“Mungkin sumbangan dr. Terawan tidak berarti jika dibandingkan dengan besaran defisit BPJS, tapi saya melihat, beliau mengajak kita berpikir, mesti ada jalan lain, yang tak harus mengorbankan rakyat kecil,” ungkap politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, sambung Kahfi, disebutkan BPJS Kesehatan mempunyai hak untuk memperoleh dana operasional penyelenggaraan program yang bersumber dari Dana Jaminan Sosial (DJS) dan/atau sumber lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Seharusnya jalan lain yang sama-sama kita pikirkan. Bukan ambil langkah yang langsung membebani publik,” katanya.

Legislator dapil Sulawesi Selatan I ini mencontohkan, pemanfaatan dana cukai rokok untuk menutupi defisit BPJS Kesehatan, agar dilakukan secara berkesinambungan, bahkan jika perlu menaikkan cukai rokok untuk menutupi beban BPJS.

“Sembari mencari jalan keluar permanen, saya kira Pemerintah masih bisa melakukan relokasi APBN, untuk menutupi defisit,” katanya.

Baca Juga: DPR Sahkan Pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan

Secara jangka panjang, solusi yang ditawarkan Kahfi adalah merubah cara pandang masyarakat terhadap kesehatan.


Twitter Dpr

Parlementaria

Berita, fakta dan informasi mengenai seputar yang terjadi di DPR-RI