Vaksin Nusantara Dihentikan, DPR Minta Kemenkes dan BPOM Lakukan Ini

Fitri Asta Pramesti
Vaksin Nusantara Dihentikan, DPR Minta Kemenkes dan BPOM Lakukan Ini
Wakil Ketua DPR M. Azis Syamsuddin. (Dok. DPR)

"DPR akan terus mendorong Pemerintah untuk mendukung pembiayaan penelitian vaksin Covid-19 dalam negeri, khususnya vaksin Nusantara," ujar Azis.

Suara.com - Wakil Ketua DPR RI, M. Azis Syamsuddin meminta Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk mendukung hasil penelitian, merespon proses penelitian vaksin Nusantara yang dihentikan sementara. 

Azis bilang, DPR mendorong para peneliti untuk menjelaskan alasan diberhentikan sementara proses penelitian yang, mengingat vaksin digagas oleh mantan Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto tersebut sudah lolos uji klinis tahap satu.

DPR juga meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk segera mengeluarkan persetujuan proses uji klinis tahap dua terhadap vaksin Nusantara.

"Sejak awal DPR mendukung vaksin Nusantara. Ini kerja keras yang jelas tidak mudah. Memiliki kekuatan luhur untuk memulihkan kondisi bangsa dari wabah Covid-19. Para peneliti harapannya dapat terbuka atas kondisi yang terjadi," terang Azis  dalam siaran persnya, Kamis (25/3/2021). 

Baca Juga: DPR : BUMDes harus Diperkuat untuk Bangkitkan Ekonomi Desa

Atas kondisi ini, Azis juga meminta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk mendukung dan mempermudah proses uji klinis vaksin Nusantara maupun vaksin buatan dalam negeri lainnya, mengingat persediaan vaksin Covid-19 yang tersertifikasi halal terbatas.

"Sangat disayangkan jika gagasan besar untuk bangsa ini gagal. DPR akan terus mendorong Pemerintah untuk mendukung pembiayaan penelitian vaksin Covid-19 dalam negeri, khususnya vaksin Nusantara agar Indonesia dapat memproduksi vaksin sendiri sesuai dengan karakteristik orang Indonesia,  termasuk jaminan kehalalannya," imbuh Azis. 

Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini juga merespon adanya hasil survei nasional yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang menunjukkan persentase tertinggi warga yang menolak untuk divaksin COVID-19 cukup tinggi. Khususnya di DKI Jakarta.

"Prihatin, angka penolakannya sampai 33 persen. Apalagi DKI adalah episentrum, daerah yang yang memiliki tingkat penyebaran COVID-19 tertinggi di Indonesia. Saya memprediksim tingginya tingkat penolakan terhadap vaksin di DKI Jakarta tampaknya sejalan dengan persepsi tentang keamanan vaksin itu sendiri," jelasnya. 

Berada di urutan kedua dan ketiga, yakni Jawa Timur 32 persen dan Banten 31 persen, sementara persentase terendah penolakan untuk divaksin ditemukan di Jawa Tengah, yakni 20 persen. Di sisi lain, hanya 19 persen warga Jawa Tengah yang tidak percaya vaksin dari pemerintah aman.

Baca Juga: Bahas RUU Prioritas, DPR Ajak Pemerintah Kesampingkan Ego Sektoral

Bila dilihat etnisitas, persentase terbesar etnik warga yang tidak mau divaksin adalah Madura (58 persen) dan Minang (43 persen). Sedangkan yang paling tinggi persentase bersedia divaksin adalah Batak (57 persen) dan Jawa (56 persen).

"DPR berharap, program vaksinasi ini benar-benar disosialisasikan ke masyarkat. Pemerintah Daerah memiliki peran penting dalam menumbuhkan antusiasme masyarkat. Sementara Kemenkes dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) diharapkan terus mendorong manfaat dan kehalalan vaksin," tandas Azis.


Twitter Dpr

Parlementaria

Berita, fakta dan informasi mengenai seputar yang terjadi di DPR-RI