Polemik Pencairan JHT, Legislator PAN: Banyak Kebijakan Pemerintah yang Diputus Sepihak

Fabiola Febrinastri | Restu Fadilah
Polemik Pencairan JHT, Legislator PAN: Banyak Kebijakan Pemerintah yang Diputus Sepihak
Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PAN, Saleh Daulay. (Dok: DPR)

"Harus dibuka ruang untuk diskusi terkait aturan ini,"

Suara.com - Program Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan yang baru bisa dicairkan 100% setelah usia peserta mencapai 56 tahun mendadak jadi sorotan. Termasuk dari Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PAN, Saleh Daulay.

Saleh mengaku belum mendapatkan keterangan yang jelas dan lengkap terkait Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2020 tersebut. Sebab, dalam beberapa kali rapat dengan Kemnaker dan BPJS Ketenagakerjaan perubahan tentang mekanisme penarikan JHT tidak dibicarakan secara khusus. Bahkan dapat dikatakan, belum disampaikan secara komprehensif.

"Mestinya, rencana terkait penetapan kebijakan ini sudah disounding dulu ke DPR. Mulai dari payung hukumnya, manfaatnya bagi pekerja, sampai pada keberlangsungan program JHT ke depan. Dengan begitu, kalau ditanya, kita juga bisa menjelaskan," kata Saleh Daulay.

Terkait permenaker tersebut, menurut Saleh Daulay, harus dipastikan agar tidak merugikan para pekerja. Sejauh ini, Dia mendengar masih banyak penolakan dari asosiasi dan serikat pekerja. Dikhawatirkan, penolakan ini akan menyebabkan tidak efektifnya kebijakan dimaksud.

Baca Juga: JHT Cair di Usia 56 Tahun, Anggota DPR: Peraturan yang Tidak Sensitif

"Para pekerja kelihatannya merasa sering ditinggalkan. Ada banyak kebijakan pemerintah yang seakan diputus secara sepihak. Mulai dari UU Ciptaker sampai pada persoalan upah minum. Hari ini, ada pula persoalan JHT yang hanya bisa ditarik setelah 56 tahun," tegasnya.

Saleh Daulay mendengar, alasan Pemerintah menerapkan kebijakan ini adalah agar tidak terjadi double klaim. Di satu pihak ada jaminan kehilangan pekerjaan (JKP), di pihak lain ada JHT. Lalu, katanya, kebijakan ini juga dimaksudkan untuk mengembalikan fungsi JHT ke tujuan awalnya.

"Masalahnya, JKP itu kan payung hukumnya adalah UU Ciptaker. Apakah sudah bisa diberlakukan? Bukankah permenaker ini dikeluarkan setelah putusan MK yang menyatakan UU ciptaker inkonstitusional bersyarat? Kalaupun misalnya JKP sudah boleh diberlakukan, lalu mengapa JHT harus 56 tahun? Apa tidak boleh misalnya diambil berdasarkan situasi dan kondisi pekerja? Katakanlah, misalnya, karena kondisi pekerja yang sangat sulit, lalu dibolehkan dapat JKP dan JHT? Atau banyak opsi lain yang dimungkinkan," lugasnya.

Terakhir, dia melihat bahwa kebijakan ini kurang sosialisasi. Artinya, kementerian ketenagakerjaan belum maksimal mengedukasi masyarakat terkait JKP. Kalau betul JKP ini bagus, tentu masyarakat akan mendukung.

"Saya melihat bahwa permenaker Nomor 2 Tahun 2020 masih sangat layak untuk diperbincangkan di publik. Diskusi publik itu dimaksudkan untuk mendapatkan masukan dari masyarakat, terutama dari kalangan pekerja. Kalau hasil diskusi publik itu ternyata menyebut bahwa permenaker ini merugikan para pekerja, kita mendorong agar permenaker ini dicabut. Harus dibuka ruang untuk diskusi. Tidak baik juga kalau suatu kebijakan strategis tidak melibatkan pihak-pihak terkait," tandasnya.

Baca Juga: Pencairan Dana Jaminan Hari Tua Jadi Polemik, Kemnaker: JHT Program Jangka Panjang


Twitter Dpr

Parlementaria

Berita, fakta dan informasi mengenai seputar yang terjadi di DPR-RI