Pimpinan Komisi IV: UU Karantina untuk Cegah Terorisme Pangan
UU ini diharapkan melahirkan sistem perkarantinaan yang kuat, sesuai perkembangan strategis.
Suara.com - Sejauh ini, belum ada payung hukum kuat yang menjamin tingkat keamanan sumber daya alam (SDA) hayati, sekaligus mampu mengawal secara maksimal masuknya bahan pangan dari luar negeri, termasuk juga ancaman bioterorisme melalui jenis makanan, hewan dan tumbuh-tumbuhan.
Hal itu antara lain mengemuka dalam diskusi Forum Legislasi bertajuk "RUU Karantina Dalam Menjamin Keamanan Pangan", bersama Wakil Ketua Komisi IV DPR Herman Khaeron dan Kepala Badan Karantina Kementerian Pertanian (Kementan) Banun Harpini, di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (23/6/2015).
"Saat ini, banyak cara untuk mengganggu dan merusak suatu negara. Misalnya dengan bioterorisme, yang jenisnya banyak. Ada yang bisa menurunkan produksi ternak, tumbuh-tumbuhan, makanan, dan menyebarkan berbagai jenis penyakit," ungkap Herman, seperti dilansir laman DPR RI.
Oleh karena itu, menurut politisi Partai Demokrat tersebut, revisi UU No.16 tahun 1992 tentang Karantina ini menjadi prioritas untuk diselesaikan pada periode 2015, karena UU No.18 tahun 2012 tentang Pangan tak mampu menghadapi persoalan penyakit, keamanan dan hama pangan. Contoh kasus yang disebutnya adalah beras plastik, hama apel, hama pakan ternak, dan sebagainya.
"Jadi, Badan Karantina ini menjadi pintu utama terhadap masuk dan keluarnya berbagai jenis makanan," ujar Herman lagi.
Herman mengatakan, UU yang terkait dengan karantina tersebut antara lain adalah UU No.18 tahun 2012 tentang Pangan, UU No.18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, jo. UU No.41 tahun 2014, UU No.31 tahun 2004 tentang Peternakan, jo, UU No.45 tahun 2009 dan UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistem.
Ditambahkan Herman, UU tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan ini diharapkan melahirkan sistem perkarantinaan yang kuat, sesuai dengan perkembangan lingkungan strategis. Sistem itu juga diharapkan sejalan dengan sistem perdagangan internasional komoditas pertanian dan perikanan, dan terintegrasi dengan sistem pengawasan keamanan hayati, sehingga menjadi Badan Karantina yang kuat dan mandiri.
Sementara itu, Banun Harpini mengatakan bahwa bioterorisme adalah terorisme yang melibatkan pelepasan disengaja atau penyebaran agen biologis. Agen ini bisa berupa bakteri, virus, atau racun, dan mungkin dalam satu atau beberapa bentuk lain telah dimodifikasi manusia. Untuk penggunaan metode ini dalam peperangan, biasanya menurutnya melalui perang biologis.
"Jadi, jangan main-main dengan dengan masalah karantina. Itulah sebabnya, karantina itu harus menjadi terdepan. Tanpa pengawasan yang ketat, akan merusak pertanian kita," papar Banun.
Banun mencontohkan, beberapa tahun lalu Indonesia dikenal sebagai negara pengekspor unggas. Tapi begitu ada flu burung, nyatanya ekspor unggas Indonesia menjadi mati.
"Ya, itu tadi. Banyak unggas kita mati. Lantas siapa yang menebar virus flu burung itu? Di sinilah pentingnya karantina," tukasnya.
Dengan alasan itulah, Banun berharap akan keberadaan UU Karantina, sehingga lembaga yang dipimpinnya pun mampu mengawasi secara maksimal terhadap masuknya bahan pangan dari luar negeri.
"Pengawasan keamanan pangan belum secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang Pangan yang sudah ada, seperti (misalnya) ada beras plastik yang merupakan isu keamanan pangan," tandasnya.