RUU Disabilitas, Keberpihakan DPR terhadap Penyandang Disabilitas

Arsito Hidayatullah
RUU Disabilitas, Keberpihakan DPR terhadap Penyandang Disabilitas
Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Ledia Hanifa Amaliyah (tengah), dalam diskusi tentang RUU Disabilitas, di Gedung DPR, Selasa (30/6/2015). [DPR RI]

Diharapkan sebelum berakhirnya masa sidang ini, RUU itu sudah bisa diharmonisasi.

Suara.com - Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Ledia Hanifa Amaliyah, memastikan bahwa RUU Penyandang Disabilitas yang sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2015 ini, akan dirumuskan DPR dengan keberpihakan penuh kepada para penyandang disabilitas.

"Jadi, kami pastikan para penyandang disabilitas tidak otomatis masuk ke panti-panti. Tetapi kami akan merumuskan, akan lebih ditekankan kepada kepedulian keluarga dan lingkungannya," ungkap Ledia, di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (30/6/2015), dalam acara Forum Legislasi bertajuk "RUU Disabilitas", bersama Guru Besar UI Prof Dr Irwanto dan Dirjen Rehabilitasi Kemensos, Samsudi.

Sebagaimana dilansir laman DPR RI, Rabu (1/7), sejauh ini menurut Ledia, RUU ini baru dalam proses perumusan draf yang akan menjadi usul inisatif DPR.

"Kami berharap sebelum berakhir masa sidang ini, sudah bisa diharmonisasi, agar bisa segera disetujui menjadi draf DPR. Kami sudah bisik-bisik ke pihak Kementerian Sosial (Kemensos), kalau sudah disetujui di tingkat I, mesti cepat-cepat dikebut pembahasannya. Bisa dipastikan leading sector ada di Kemensos, meski di negara-negara lain diserahkan kepada Kementerian Kesehatan," ujar politisi PKS itu.

Menurut Ledia, satu hal penting dari pembahasan materi UU ini adalah mengenai pembentukan Komite Nasional yang diharapkan dapat mengawasi pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas nantinya.

"Kami berharap Komite Nasional itu nanti dapat meng-endorse cara pandang pemerintah," tegasnya.

Sementara itu, Guru Besar UI, Prof Dr Irwanto, menilai bahwa perhatian negara terhadap para penyandang disabilitas (cacat) masih sangat kurang. Untuk hal-hal mendasar seperti penggunaan huruf braile dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) saja menurutnya, negara tidak pernah memfasilitasinya.

"Dulu waktu Presidennya Gus Dur dan Presiden SBY, jalan bidang miring untuk penyandang difabel dengan kursi roda, ada tuh. Sekarang sudah tidak ada. Saya lewat di situ harus diangkat seperti tandu Jenderal Sudirman," katanya.

Menurut Irwanto, seharusnya di tempat penting seperti itu ada fasilitas untuk kaum disabilitas. Kalau tidak bidang miring, bisa juga model lift. Hal semacam ini menurutnya seperti meneguhkan anggapan masyarakat, istilah penyandang cacat adalah bicara 'makhluk setengah manusia'.

"Padahal seharusnya tidak boleh diskriminasi, dan kaum difabel merupakan sosok yang sering punya kelebihan luar biasa," katanya.

Irwanto menganggap pemerintah juga masih sangat lemah dalam memetakan berapa sebenarnya jumlah penyandang disabilitas yang ada. Dia menengarai, persoalan ini karena tidak dianggap penting, sehingga datanya tidak selalu diperbarui.

"Akibatnya, hanya ditemukan 2-3 persen saja per tahunnya dari jumlah penduduk yang ada. Itu pun menggunakan data tahun 2010," tuturnya.

Di tempat yang sama, Dirjen Rehabilitasi Sosial Kemensos, Samsudi, menyatakan bahwa memang fasilitas dari negara untuk kelompok difabel masih minim. Diakuinya sampai saat ini, bahkan untuk hal-hal mendasar seperti penggunaan huruf braile di dalam KTP pun negara tidak memfasilitasinya.

"Mereka punya KTP, tapi tidak pernah tahu keterangan dan status dirinya di KTP itu, sebab tidak ditulis dalam huruf braile," ujarnya.


Twitter Dpr

Parlementaria

Berita, fakta dan informasi mengenai seputar yang terjadi di DPR-RI