Fahri Hamzah: Dalam Demokrasi Seharusnya Tidak Ada Korupsi

Siswanto | Tri Setyo
Fahri Hamzah: Dalam Demokrasi Seharusnya Tidak Ada Korupsi
Wakil Ketua DPR dari Fraksi PKS Fahri Hamzah (suara.com/Kurniawan Mas'ud)

Kasus korupsi terlihat banyak terbongkar sebenarnya bukan penanda bahwa korupsi merajalela, kata Fahri.

Suara.com - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan dalam sistem demokrasi yang dianut Indonesia saat ini, seharusnya korupsi sudah tidak ada lagi. Hal ini karena dalam berdemokrasi semua menjadi terbuka. Kalaupun saat ini terlihat masih banyak korupsi, menurutnya, hal itu karena keterbukaan demokrasi sehingga membuat masyarakat bisa melihat, membaca, dan mengomentarinya.

“Sistem otoriter tertutup,karena tertutup maka di dalamnya ada korupsi.Dan karena ada korupsi di dalamnya bangsa ini menuntut demokrasi. Lalu kita bangun sistem demokrasi sehingga bangsa ini menjadi bangsa yang full demokratis. Sistem demokrasi itu artinya sistem terbuka atau terbentuk open society. Ketika sistem ini terbuka,maka ketidaksempurnaan sistem itu terbaca dan dikomentari. Efeknya harusnya korupsi hilang,” ujar Fahri dalam diskusi bertema Menimbang Eksistensi KPK di Jakarta.

Menurut dia, kasus korupsi terlihat banyak terbongkar sebenarnya bukan penanda bahwa korupsi merajalela, tapi lebih karena sistem demokrasi yang membuka semua hal.

”Korupsi itu tidak naik jumlahnya, Cuma sekarang lebih kelihatan karena keterbukaan. Dulu kalau ada orang yang korupsi, kita hanya bisa mengumpat saja,sekarang kan ditindak. Dulu korupsi triliunan tidak ada yang urus, sekarang kan beda,” katanya.

Yang paling berbahaya dari situasi seperti ini adalah seolah semua itu adalah kondisi yang luar biasa, padahal keadaan justru semakin membaik. Sekarang ini kan makanya korupsi dianggap besar dan meluas karena definisi korupsi juga dilebarkan kemana-mana.

“Terima parcel dianggap korupsi, grativikasi dianggap korupsi, daftar kekayaan dianggap korupsi. Padahal Nabi Muhammad pun mengajarkan kepada umatnya untuk saling memberi hadiah,” katanya.

KPK sesuai UU 30 Tahun 2002 tentang KPK, menurut Fahri, memiliki tugas utama adalah koordinasi dan monitoring lembaga yang ada.Makanya menurut Fahri jaksa dan penyidik KPK adalah dari polisi dan kejaksaan.

”Lantas untuk apa mengambil alih tugas kepolisian dan kejaksaan? kan lebih baik kerja bersama polisi sehingga urusan korupsi bukan cuma menjadi urusan Rasuna Said (gedung KPK) saja,” katanya.

KPK itu, katanya, seharusnya bekerjasama dengan Ombudsman dan juga 126 lembaga negara lainnya, tapi yang terjadi KPK justru mengambil semua pekerjaan lembaga lain.

"Ketidakberesan dalam keuangan negara seharusnya dilacak dengan audit dan bukan dengan alat sadap. Kalau menggunakan alat sadap maka jelasnya apa gunanya BPK dan BPKP. Makanya tidak heran laporan BPK tidak pernah digubris KPK. Yang ditangkap yah para penerima amplop saja atau kelas teri. Mereka mengejar moralitas, padahal seharusnya mereka mengejar tindak kejahatan yang telah dilakukan," kata Fahri.


Twitter Dpr

Parlementaria

Berita, fakta dan informasi mengenai seputar yang terjadi di DPR-RI