Pimpinan DPR: Pembahasan Revisi UU KPK Perlu Amanat Presiden
Fahri menegaskan, sejak awal revisi UU ini digulirkan oleh pemerintah.
Suara.com - Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah mengatakan, pembahasan revisi UU nomor 30/2002 tentang KPK perlu Amanat Presiden (Ampres). Tanpa Ampres, DPR menurutnya tidak bisa membahas revisi itu.
"Jadi mustahil ada pembahasan RUU KPK jika tidak ada Ampres. DPR sekarang pasif saja," kata Fahri, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/12/2015).
Menurut Fahri, tidak tepat kalau revisi ini disebut sebagai inisiatif DPR. Sebab menurutnya, sejak awal revisi UU ini digulirkan oleh pemerintah.
"Itu kan permintaan pemerintah begitu. DPR hanya akan membahas RUU KPK kalau Presiden setuju untuk membahasnya," cetus Fahri.
Sebelumnya, pemerintah dan DPR dilaporkan akhirnya menyepakati untuk merevisi UU KPK dalam pembahasan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2016.
Ada empat poin besar dalam revisi UU ini. Pertama, soal kinerja KPK yang dirasa perlu diawasi kinerjanya melalui lembaga pengawas. Kedua, KPK juga perlu diberi kewenangan menerbitkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara atau SP3. Alasannya bahwa tanpa SP3, kesalahan dalam penyidikan dapat berpotensi dipaksa untuk tetap dilanjutkan.
Poin ketiga adalah bahwa kewenangan penyadapan oleh KPK juga harus diatur, karena Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan penyadapan harus diatur oleh undang-undang atau setingkat UU. Lalu poin keempat, perlu aturan mengikat yang mengatur keberadaan penyidik di KPK, agar tidak ada lagi perdebatan apakah diperbolehkan (adanya) penyidik independen atau tidak.