Panja Perfilman Usul Revisi UU Nomor 33 Tahun 2009

Arsito Hidayatullah
Panja Perfilman Usul Revisi UU Nomor 33 Tahun 2009
Konferensi pers Komisi X terkait UU No 33/2009 di Media Center Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (27/4/2016). [DPR.go.id]

Panja Film dibentuk sebagai upaya menyikapi situasi perfilman nasional yang stagnan.

Suara.com - Panja Perfilman Nasional Komisi X DPR RI hasilkan beberapa rekomendasi dalam upaya meningkatkan kualitas film Indonesia. Salah satu rekomendasi adalah melakukan revisi terhadap UU No 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. UU tersebut memiliki beberapa kelemahan dalam pengaturan tentang perlindungan dan penghormatan hak cipta film, pendidikan film, tata niaga film dan penguatan kelembagaan Badan  Perfilman Nasional.

Hal itu diungkapkan Ketua Komisi X Teuku Rifky Harsya (F-Demokrat), Wakil Ketua Komisi X Abdul Kharis Almasyhari (F-PKS) dan Ferdiansyah (F-Golkar), Venna Melinda (F-Demokrat), serta Maman Wijaya (Pusbangfilm, Kemendikbud) saat melakukan konferensi pers di Media Center, Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta pada Rabu (27/4) lalu.

Menurut Abdul Kharis, dibentuknya Panja Film adalah upaya untuk menyikapi situasi perfilman nasional yang stagnan dan menurun dari jumlah penontonnya meskipun jumlah film yang dihasilkan naik. “Panja ini menyikapi situasi film nasional yang stagnan dan menurun dari jumlah penonton. Meskipun begitu dari jumlah film mengalami kenaikan,” ujarnya.

Panja Perfilman Komisi X dibentuk dengan tujuan untuk mendorong perfilman nasional terkait dengan proses produksi, distribusi, eksibisi dan juga regulasi menuju harapan pemerintah untuk menghasilkan film Indonesia yang berkualitas sebagai sumber devisa negara.  Hal ini semakin penting karena terkait Paket Ekonomi Jilid 10 membuka 100% DNI bagi industri perfilman nasional.

"Setelah menerima aspirasi dari masyarakat dan pemangku kepentingan, maka Panja memberikan rekomendasi untuk meningkatkan kualitas perfilman Indonesia,” ujar Abdul Kharis selaku Ketua Panja Perfilman.

Panja Film menekankan pentingnya sinergitas antar lembaga negara agar dalam tugasnya tidak tumpang tindih. “Rekomendasi kelembagaan kepada pemerintah agar membuat kebijakan yang tegas mengenai penyelarasan dan sinergitas terkait tugas pokok dan fungsi Badan Perfilman Indonesia, Badan Ekonomi Kreatif, Pusat Pengembangan Film Kemendikbud dan Lembaga Sensor Film agar tidak tumpang tindih,” ujarnya.

Dalam paparannya, politisi PKS tersebut juga menekankan pentingnya film Indonesia untuk memasukkan nilai-nilai budaya dan menjunjung tinggi Pancasila. “Selain itu, Panja juga merekomendasikan pembukaan 100% Daftar Negatif Investigasi (DNI) bidang film untuk asing harus didahului dengan Peraturan Perundang-undangan yang menegaskan kewajiban membuat film yang diproduksi wajib memuat nilai-nilai budaya dan sejalan dengan Pancasila," ujarnya.

Panja Perfilman Nasional memandang perlu untuk membuat penegasan tersebut mengingat film merupakan karya cipta manusia yang erat dengan berbagai aspek budaya yang memiliki fungsi strategi ketahanan budaya, media informasi dan komunikasi bangsa.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Komisi X DPR Teuku Rifky Harsya meminta kepada Pemerintah untuk bisa mengkoordinasikan diri dengan Komisi X sebelum mengeluarkan kebijakan. “Kita meminta kebijakan dikoordinasikan terlebih dahulu dengan Komisi X,” ungkapnya.

Selain itu, Politisi Partai Demokrat itu juga menjelaskan bahwa revisi UU No 33 Tahun 2009 akan memakan waktu yang cukup lama, yakni dua tahun. Mengingat, hal itu belum dimasukkan dalam Prolegnas. “Revisi diperlukan, tetapi perlu tahapan dua tahun untuk melakukannya, karena saat ini belum masuk Prolegnas,” terangnya.

Menyikapi rekomendasi tersebut, Pusbangfilm Kemendikbud Maman Wijaya mengatakan akan menjalankan rekomendasi yang dihasilkan oleh Panja Film. “Ya, tentu Pemerintah akan melaksanakan rekomendasi yang dhasilkan dari Panja Perfilman ini,”” ujarnya.

Selain itu, Maman juga menegaskan bahwa Kemendukbud akan melakukan mekanisme lain, selain pendekatan regulasi yakni melalui pendekatan dialog. "Karena dengan dialog akan ada tukar pikiran dan gagasan,” terangnya.

Sebagaimana diketahui, perfilman nasional dalam menjalankan kegiatannya banyak menghadapi kendala, diantaranya adalah peralatan film dan proses produksi film di Indonesia yang masih banyak import. Kebijakan film melalui UU No 33 Tahun 2009 seharusnya mendorong agar pengembangan penggunaan production design dan costume design lebih bernuansa lokal, sehingga mampu mengurangi komponen syuting dari luar negeri. [DPR]


Twitter Dpr

Parlementaria

Berita, fakta dan informasi mengenai seputar yang terjadi di DPR-RI