Wakili DPR di Jenewa Serukan Keterwakilan Perempuan di WTO

Tarik menarik kepentingan menjadikan progress perundingan WTO berjalan sangat lamban.
Suara.com - Terlepas dari pengakuan akan peran perempuan yang semakin mengemuka dalam perdagangan internasional, Organisasi Perdagangan Dunia selama ini masih belum mengakomodir kepentingan perempuan dalam keputusan-keputusan yang diambil. Dampak kerjasama perdagangan internasional diposisikan sebagai sesuatu yang netral dan memberikan pengaruh yang sama bagi laki-laki maupun perempuan.
Mencermati hal tersebut, Ketua BKSAP DPR Nurhayati Ali Assegaf menyerukan kepada anggota organisasi antar parlemen internasional, Inter Parliamentary Union, untuk mendesak WTO agar memberikan porsi lebih bagi keterwakilan gender baik dalam proses negosiasi maupun dalam kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan.
“WTO selama ini berpegang pada asumsi bahwa perdagangan dipandang sebagai sesuatu yang gender neutral sehingga keputusan yang dihasilkan cenderung gender blind. Dalam hal ini kita ingin menempatkan isu gender ini sebagai konsideran saat juru runding WTO melakukan proses negosiasi. Sehingga keputusan-keputusan yang dihasilkan saat diratifikasi di dalam negeri memberikan dampak yang seimbang bagi setiap komponen dalam masyarakat. Selain itu, fokus gender juga disematkan pada pengembangan kewirausahaan pengusaha perempuan berbasis UKM. Dengan terakomodasinya isu gender, diharapkan perdagangan dapat memberikan efek kemajuan sosial yang meluas,” kata legislator yang mewakili daerah pemilihan Jatim V yang juga anggota Steering Committee IPU untuk WTO.
Hal tersebut disampaikan dalam kesempatan mengikuti Konferensi Parlemen Organisasi Perdagangan Dunia yang berlangsung di Jenewa, 13-14 Juni 2016, yang dihadiri oleh 58 parlemen dan organisasi internasional.
Usulan untuk mengakomodasi isu gender disampaikan Nurhayati dalam pertemuan Steering Committee persiapan Konferensi PCWTO yang diadakan pada bulan Februari 2016. Usulan tersebut kemudian menjadi salah satu agenda Konferensi dan Nurhayati menjadi pembicara di sesi Trade as Vehicle of Social Progress: the Gender Perspective.
Dalam konferensi, para anggota parlemen dunia membahas sejumlah isu utama pascaadopsi Nairobi Package dalam Konferensi Tingkat Menteri ke-10 WTO di Nairobi Kenya. Terutama menjadi highlight adalah kebuntuan penyelesaian Putaran Doha yang memiliki fokus khusus pada peningkatan prospek perdagangan negara-negara berkembang.
Tarik menarik kepentingan antara negara maju dan negara berkembang menjadikan progress perundingan WTO berjalan sangat lamban dan sulit untuk menghasilkan teks modalitas yang menjadi dasar single undertaking. Kelambanan ini yang kemudian coba diisi oleh perjanjian perdagangan regional.
Terdapat kekhawatiran bahwa negara-negara akan beranjak meninggalkan WTO dan mereduksi peran WTO hanya sebatas badan penyelesaian sengketa perdagangan menyusul proliferasi perjanjian perdagangan regional. Selain itu, dibicarakan pula mengenai upaya-upaya untuk mengaitkan perdagangan dengan pencapaian Sustainable Development Goals.
Dalam kesempatan dialog di salah satu sesi pertemuan, Jon Erizal, anggota BKSAP dari Komisi XI, menyampaikan kepada sidang dukungan bagi peningkatan fleksibilitas dan transparansi apabila WTO ingin menyelesaikan perundingan Putaran Doha.
“WTO selayaknya jangan tersandera oleh tarik menarik kepentingan antara negara anggota. Indonesia melalui G-20 dapat mendorong alternate proposal untuk menjembatani perbedaan posisi runding terkait isu-isu sensitif namun tanpa mengorbankan kepentingan negara-negara berkembang dan least-developed countries (LDCs). Dalam hal ini kita berpandangan bahwa dimensi pembangunan tetap harus menjadi bagian penting dalam tata perdagangan dunia,“ demikian ditegaskan Politisi PAN yang mewakili Dapil Riau I.