Pemerintah Diminta Batalkan Integrasi Tarif Tol JORR

Fabiola Febrinastri
Pemerintah Diminta Batalkan Integrasi Tarif Tol JORR
Wakil Ketua Komisi V DPR, Sigit Sosiantomo. (Sumber: Istimewa)

Daya beli masyarakat melemah.

Suara.com - Wakil Ketua Komisi V DPR, Sigit Sosiantomo, minta Kementerian PUPR membatalkan rencana pengintegrasian tarif tol JORR karena dinilai berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan.

“Pengintegrasian tarif tol JORR  berpotensi melanggar pasal 48 UU Jalan. Ada indikasi, ini merupakan kenaikan tarif terselubung, khususnya untuk pengguna tol jarak pendek. Besarnya kenaikan sangat signifikan, yaitu 57 persen dari tarif awal Rp 9.500 menjadi Rp 15 ribu. Jika mengacu pada UU, dengan inflasi hanya 3 persen per tahun, maka kenaikan maksimal hanya 6 persen,” kata Sigit dalam keterangan persnya, Jakarta, Selasa (19/6/2018).

Ia menambahkan, selain laju inflasi, tarif tol juga dihitung berdasarkan kemampuan bayar pengguna jalan, besar keuntungan biaya operasi kendaraan, dan kelayakan investasi. Sisi lain, daya beli masyarakat melemah.

Pada kuartal I 2018, proporsi pendapatan masyarakat yang dibelanjakan menurun menjadi 64,1 persen.

“Daya beli lemah, artinya kemampuan bayar pengguna jalan juga mengalami penurunan. Tapi mengapa di saat seperti ini, pemerintah justru mengambil kebijakan mengintegrasikan tarif tol yang akan membebani pengguna tol,” ujar politisi F-PKS ini.

Sigit menilai, sebaiknya pemerintah sebagai regulator fokus untuk mengingatkan dan mengawasi pengelolaan jalan tol oleh operator agar memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM). Apalagi hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mendapati banyaknya persoalan dalam pengelolaan tol, mulai dari SPM yang tidak dipenuhi hingga penetapan tarif yang membebani masyarakat.

“Hasil evaluasi BPK atas pengelolaan beberapa ruas tol di Jawa pada 2014-2016, menemukan enam masalah pokok yang dapat mengganggu pengelolaan operasional jalan tol pada Kementerian PUPR, BPJT dan BUJT, berkaitan dengan kelancaran lalu lintas dan kebijakan tarif tol. Seharusnya ini dibenahi dulu, baru buat aturan baru soal tarif,” saran politisi dapil Jatim itu.

Berdasarkan laporan BPK, enam masalah pengelolaan tol tersebut diantaranya meliputi proses penilaian pemenuhan SPM belum memadai dan terdapat beberapa jalan tol yang tidak memenuhi standar pada aspek kelancaran lalu lintas, kebijakan penerapan integrasi sistem pembayaran pada jalan tol Trans Jawa dalam menghadapi lalu lintas Lebaran tahun 2016 tidak didukung kajian atau rencana antisipasi yang memadai atas dampaknya. Kenaikan tarif tol belum mempertimbangkan pemenuhan pelayanan atas kelancaran lalu lintas dan kondisi daya beli masyarakat serta terdapat kenaikan yang melebihi kenaikan laju inflasi.


Twitter Dpr

Parlementaria

Berita, fakta dan informasi mengenai seputar yang terjadi di DPR-RI