Ketua DPR Beri Kuliah Umum di Kampusnya, Universitas Perwira Purbalingga

Fabiola Febrinastri | Dian Kusumo Hapsari
Ketua DPR Beri Kuliah Umum di Kampusnya, Universitas Perwira Purbalingga
Ketua DPR, Bambang Soesatyo. (Dok : DPR),

Ancaman tidak hanya dalam bentuk fisik, akan tetapi ancaman nonfisik.

Suara.com - Ketua DPR, Bambang Soesatyo menilai, kesadaran bela negara dan cinta Tanah Air harus dimulai dengan melihat peta kondisi geopolitik dan pertahanan keamanan. Kebijakan pertahanan dan keamanan negara pasca perang dingin tidak lagi fokus pada isu persaingan ideologis Blok Barat dan Timur.

Arus demokratisasi dan interdependensi, serta isu lingkungan turut memegang peranan penting dalam mengubah pola interaksi antarnegara, dimana semuanya terangkai dalam konstruksi globalisasi sebagai impuls utamanya. 

"Perubahan isu secara signifikan merubah peta geopolitik dan geostrategi hampir di seluruh kawasan, diikuti instabilitas yang potensial menjadi ancaman bagi eksistensi sebuah negara. Kondisi tersebut memaksa seluruh negara untuk menata ulang sistem keamanannya. Isu keamanan menjadi lebih komprehensif dan berorientasi global. Studi dan kajian bidang keamanan pun semakin luas," ujar Bamsoet, saat memberikan kuliah umum pada kuliah perdana di Universitas Perwira Purbalingga (Unperba), yang baru selesai di bangun di Dapilnya di Purbalingga, Jawa Tengah, Jumat (13/09/2019). 

Legislator Dapil VII Jawa Tengah meliputi Kabupaten Purbalingga, Banjarnegara, dan Kebumen ini menambahkan, perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi, serta teknologi transportasi mempercepat arus informasi, arus finansial global, dan mobilitas manusia. Berbagai fenomena perubahan tersebut bukan tidak mungkin membawa ekses yang potensial menjadi ancaman bagi keamanan suatu negara.

Baca Juga: Irjen Firli Jadi Ketua KPK Terpilih, Jokowi: Sudah Menjadi Kewenangan DPR

Ancaman tidak hanya dalam bentuk fisik, akan tetapi ancaman nonfisik, seperti penanaman nilai-nilai kehidupan asing yang dapat menjadi alat penghancur entitas sebuah peradaban bangsa.

"Untuk menghadapi perkembangan ancaman yang makin beragam, Indonesia perlu menata kembali kekuatannya. Dalam konteks pertahanan negara, permasalahan ini tidak cukup ditangani hanya dari aspek kekuatan utama militer saja. Untuk membangun ketahanan nasional setidaknya ada tiga pilar yang harus saling terkait yaitu pemerintahan, rakyat, dan militer. Ketiganya dijalin dalam simpul untuk memperkuat sebuah negara. Pemerintah dengan rakyat diikat dengan simpul ideologi," jelas Bamsoet.

Sebagai pendiri Unperba, Bamsoet menaruh keyakinan, mahasiswa Unperba bisa secara bersama-sama memperoleh dan menggunakan kesempatan yang sama di dalam peran sertanya membela negara. Beban besar membangun kekuatan pertahanan negara akan lebih ringan apabila ada gerakan sinergi dari seluruh komponen bangsa. 

"Sebagai mahasiswa Unperba, semangat untuk turut serta dalam upaya bela negara harus terus dikobarkan. Bela negara dapat dilakukan melalui jalur formal dan jalur non formal. Terkait jalur formal, saat ini DPR tengah bersiap bersama pemerintah menyusun RUU tentang Pengelolaan Sumber Daya Manusia untuk Pertahanan. Pada saat RUU ini kelak menjadi UU, maka para mahasiswa Unperba perlu mempelajarinya dengan seksama, sehingga dapat memahami prosedur-prosedur yang ada apabila berminat untuk mengabdikan diri melakukan bela negara. Misalnya, dengan mendaftarkan diri sebagai Anggota Komponen Cadangan," urainya.

Sedangkan untuk jalur informal dalam melakukan pembelaan negara, Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menerangkan, pengertiannya adalah membekali diri dengan ilmu pengetahuan dan basis ideologi yang kuat tentang pentingnya Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Dengan demikian, dalam apapun profesi para mahasiswa Unperba setelah lulus, entah itu sebagai Pegawai Pemerintah maupun Pengusaha atau Wiraswasta, mereka akan terbentengi secara ideologi dari paham-paham yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa dan bahkan akan menghancurkan NKRI. 

Baca Juga: Irjen Firli Jadi Ketua KPK, Polri Beri Apresiasi Pada DPR

"Semua pihak harus menyadari bahwa kondisi masyarakat yang multikultur ini memiliki suatu kelemahan, yaitu rentan terhadap konflik horizontal yang mengakibatkan disintegrasi bangsa. Yang dimaksud dengan konflik horizontal adalah konflik antar kelompok atau masyarakat yang didasari atas adanya perbedaan identitas, seperti suku, etnis, ras, dan agama. Konflik horizontal yang bersifat massal biasanya diawali dengan adanya potensi konflik yang kemudian berkembang dan memanas menjadi ketegangan, sampai akhirnya pecah menjadi konflik fisik," terang Bamsoet.


Twitter Dpr

Parlementaria

Berita, fakta dan informasi mengenai seputar yang terjadi di DPR-RI