Baleg Bahas RUU Ciptaker dengan Sejumlah Pakar Hukum

Angka 400 peraturan tersebut merupakan sisa dari 7.000 peraturan.
Suara.com - Badan Legislasi (Baleg) DPR RI kembali menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan sejumlah pakar hukum dan perundangan untuk menghimpun masukan terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, di Jakarta, Rabu (29/4/2020).
Mereka adalah pakar hukum dari Universitas Gajah Mada (UGM) Bambang Kesowo dan Prof. Dr. Satya Arinanto.
Dalam rapat yang digelar secara daring tersebut, Satya menyampaikan, Omnibus Law sebagai suatu metode dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan di Indonesia bukanlah hal yang baru.
Menurutnya, ada beberapa contoh peraturan perundang-undangan yang proses penyusunannya mempergunakan metode Omnibus Law untuk menggantikan peraturan perundang-undangan di era Hindia Belanda yang diperkirakan sekitar 7.000 peraturan hingga tahun 1949.
Baca Juga: DPR : KPK Harus Mampu Jaga Pemerintahan yang Sah
Satya menambahkan, dalam daftar Program Legislasi Nasional yang disusun BPHN tahun 1990 sampai 1992 masih ada sekitar 400 peraturan perundang-undangan Hindia Belanda. Angka 400 peraturan tersebut merupakan sisa dari 7.000 peraturan.
“Ini yang saya maksud bahwa kita pernah menggunakan metode Omnibus. Walaupun istilah Omnibus Lawsaat itu belum dipergunakan, tetapi metodenya dipergunakan," jelas Satya, dalam rapat yang dipimpin Wakil Ketua Baleg DPR, Willy Aditya.
Terkait draf RUU Cipta Kerja, Satya memberikan dukungannya terhadap penggunaan metode omnibus law. Ia pun memberikan beberapa highlights terhadap naskah awal RUU Cipta Kerja.
Sementara itu, pakar hukum dan perundangan Bambang Kesowo memberikan penjelasan terkait Omnibus sesungguhnya. Menurutnya, karakteristik utama dari Omnibus yakni tidak dibuat untuk mengubah atau mencabut Undang-Undang (UU) lain.
“Omnibus satu metode untuk merangkai pelaksanaan secara terpadu sebuah kebijakan politik. Untuk berbagai kegiatan yang sebenarnya masing-masing sudah diatur dalam banyak Undang-Undang, tapi tanpa mengubah UU yang bersangkutan," kata Bambang.
Baca Juga: Banggar DPR Minta Pemerintah Rekomendasi Pulihkan Ekonomi Pasca Covid-19
Penggunaan metode Omnibus sendiri, kata dia, salah satunya dilakukan di Kanada pada era 1970-an oleh Perdana Menteri saat itu, Pierre Trudeau. Kala itu, Pierre Trudeau mendorong satu aturan yang intinya bisa memberikan arahan pada hakim agar dalam pelaksanaan tugasnya, hakim tidak mengklasifikasi dan tidak menerapkan kriteria kriminal untuk beberapa jenis tindakan, seperti lesbianisme dan perkawinan sejenis.
Pierre Trudeau, lanjut dia, mempunyai keyakinan politik bahwa hal-hal seperti itu bukan urusan negara. Itu merupakan ranah pribadi yang tidak perlu dicampuri dan negara tidak perlu masuk terlalu dalam ke dalam masalah-masalah itu.
"Jadi satu kebijakan politik untuk tidak mengkriminalkan beberapa jenis tindakan yang dalam peraturan perundang-undangan yang ada sudah diklasifikasikan sebagai pelanggaran (kriminal)," jelasnya.
Menurut Bambang, prinsip tersebut harus diperhatikan ketika pemerintah mengusulkan RUU Ciptaker. Prinsip bahwa omnibus sebagai metode untuk merangkai pelaksanaan terpadu sebuah kebijakan politik dalam berbagai kegiatan yang sudah diatut dalam berbagai UU. Tanpa mengubah UU yang bersangkutan.
Namun secara pribadi, ia memandang positif tujuan di balik pembentukan RUU Ciptaker. Tujuan tersebut dapat dilihat pada konsideran "menimbang" dalam draf RUU Ciptaker.
"Kalau dari sisi itu saya kira, secara pribadi saya katakan tidak ada yang salah. Cuma persoalannya, bagaimana cara kita mewujudkannya. Undang-Undang ini mau mewujudkan tujuan yang baik itu dengan metode omnibus, tapi berbeda dengan paham omnibus yang umumnya," tandasnya.