Untuk Stabilisasi Sektor Pangan, Pemerintah Diminta Revisi Anggaran

Fabiola Febrinastri
Untuk Stabilisasi Sektor Pangan, Pemerintah Diminta Revisi Anggaran
Anggota Komisi IV DPR RI Andi Akmal Pasluddin. (Dok : DPR)

Pangan adalah sektor penting untuk setiap keadaan selain energi, air dan kesehatan.

Suara.com - Anggota Komisi IV DPR RI, Andi Akmal Pasluddin minta pemerintah merevisi anggaran Kementerian Pertanian dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk menjaga stabilisasi sektor pangan. Menurutnya, pangan adalah sektor penting untuk setiap keadaan selain energi, air dan kesehatan.

Khusus pada kondisi pandemi covid-19, sektor pangan sejajar prioritasnya dengan sektor kesehatan. Namun yang terjadi, sektor kesehatan bertambah anggarannya, sedangkan anggaran sektor pangan dikurang secara drastis.

"Perlu ada langkah lanjutan, agar pemerintah merevisi anggaran sektor pangan ini, agar negara kita tetap stabil. Kita tidak melihat saat ini, tapi bagaimana prediksi kedepan dengan pengelolaan anggaran seperti ini bisa baik menjalankan pemerintahan di sektor pangan ini," seru Akmal dalam keterangan persnya, Rabu (6/5/2020).

Legislator asal Sulawesi Selatan II ini mengatakan, berkaitan dengan peringatan dari organisasi pangan dunia (FAO) terhadap krisis pangan dunia, memang secara cadangan nasional harusnya cukup. Jaminan Kementan jadi pegangan seluruh rakyat Indonesia.

Baca Juga: Menhub Izinkan Transportasi Beroperasi, DPR: Penanganan Pandemi Amburadul

"Ini harusnya menjadi kebijakan lanjutan, untuk menutup defisit pangan di beberapa provinsi. Impor bukan solusi. Tapi dipenuhi dari provinsi-provinsi yang surplus," tandasnya.

Akmal menambahkan, sebelum UU Cipta Kerja muncul dalam pembahasan, ketersediaan pangan itu berasal dari pemenuhan produksi dalam negeri. Itu saja banyak sekali terjadi Impor di mana-mana.

Sebagai contoh, berdasar data BPS 2019, impor beras dari Vietnam mengalami kenaikan dari tahun 2017 sebesar 16.599,9 ton menjadi 767.180,9 ton diikuti jumlah impor dari Thailand 108.944,8 ton (2017) menjadi 795.600,1 ton (2018).

"Alasan ketergantungan beras impor pada saat itu karena stok kurang. Padahal pemerintah, dalam hal ini Kementan, selalu mengatakan ada surplus. Kemungkinan besar adalah karena ada keuntungan dalam perdagangan luar negeri yang dinikmati oleh segelintir orang," ujar politisi Fraksi PKS itu.

Kini, lanjutnya, pada Omnibus Law yang masih dalam proses, ketersediaan pangan selain dalam negeri, juga dapat disediakan dalam bentuk impor.

Baca Juga: Rusak Rencana Pemda Lawan Corona, DPR: Hentikan Pelonggaran Transportasi

"Negara kita akan semakin tidak jelas ke depannya berkaitan dengan identitas sebagai negara agraris bila impor pangan terus menjadi kebiasaan. Apalagi bila sampai Omnibus Law disahkan, dan pasal tentang impor pangan ini menjadi legal sebagai ketersediaan pangan," kritisi Akmal.


Twitter Dpr

Parlementaria

Berita, fakta dan informasi mengenai seputar yang terjadi di DPR-RI