DPR Sudah Ingatkan Pemerintah soal Bank Jangkar
Dalam mekanisme, perbankan Bank Indonesia berperan sebagai the lender of the last resource.
Suara.com - Pemerintah, dalam waktu dekat akan mengumumkan skema baru mengenai penempatan dana pemerintah di bank-bank dalam negeri yang ditunjuk sebagai bank jangkar atau anchor bank. Penempatan ini diklaim pemerintah dapat memberi dukungan proses restrukturisasi dan untuk mengembalikan kepercayaan menyalurkan kredit modal kerjanya kepada pengusaha, khususnya usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang terdampak Covid-19.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) nantinya akan memberi assessment mengenai bank yang dapat menjadi bank peserta berdasarkan sejumlah kriteria yang ditetapkan. Nantinya, bank pelaksana yang akan merestrukturisasi kredit atau kekurangan likuiditas dapat menyampaikan proposalnya kepada bank peserta tersebut.
Menangapi hal itu, anggota Komisi XI DPR RI, Andreas Eddy Susetyo mengungkapkan, pihaknya sudah mengingatkan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, agar jangan sampai hal tersebut malah menjadi beban bagi bank-bank sistemik yang nantinya ditunjuk sebagai bank peserta. Ia khawatir, tidak ada mekanisme untuk menjamin bank jangkar tersebut menjadi bank peserta.
“Sebetulnya dalam rapat di Komisi XI, kita sudah mengingatkan tentang hal ini (bank jangkar). Pertama, sebetulnya sebaiknya untuk penyediaan likuiditas dari bank-bank yang mengalami masalah likuiditas karena Covid-19 tidak menjadi beban bank jangkar, mengingat bank-bank tersebut kebanyakan diisi oleh bank-bank sistemik,” kata Andreas, dalam wawancara melalui telepon kepada Parlementaria, Selasa (19/5/2020).
Baca Juga: DPR: Menag Jangan Beri Keputusan Terkait Haji Sebelum Dapat Info Resmi
Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini menilai, penempatan dana yang dilakukan melalui skema bank jangkar memiliki pola pendekatan business-to-business (B2B). Pola demikian, diibaratkannya seperti dalam sebuah pertandingan sepak bola dimana pemain turut serta menjadi wasit.
Bank jangkar sebagai pemain, kemudian melakukan proses due diligence terlebih dahulu terhadap bank-bank pelaksana sesuai kredit assesment yang diajukannya.
“Kenapa malah menjadi beban ke bank jangkar. Mereka kan juga sesama bank. Ibaratnya, mereka pemain, tetapi sekaligus jadi wasit karena melakukan penelitian terhadap bank-bank pelaksana yang mengajukan proposal likuiditas. Kalau pendekatannya B-to-B, kenapa mesti diatur lewat PP? Dengan begitu kan bank tersebut harus mengikuti due diligence. Inilah yang akan memakan waktu di tengah kondisi kita sedang work from home dan PSBB sekarang ini," tegasnya.
Merujuk pada UU PPKSK dan Perppu Covid-19, Andreas menekankan bahwa mekanisme pemberian bantuan lilkuiditas sebenarnya sudah cukup ringkas dan jelas. Jika bank membutuhkan likuiditas, bank tersebut bisa memanfaatkan mekanisme Pasar Uang (PUAB).
Selanjutnya jika masih membutuhkan, bisa melakukan Repo SBN. Terakhir, jika masih diperlukan skema Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek (PLJP) juga bisa dilakukan.
Baca Juga: DPR Ajak unior Doctors Network Bersinergi Lawan Covid-19
“PLJP itu lebih jelas, karena bank bisa mengagunkan aset kreditnya yang tentu berdasarkan rekomendasi atau assessment dari OJK. (Skema) Ini juga sama kan. Begitu nanti bank peserta mengajukan kepada Kemenkeu, pihak Kemenkeu juga nantinya akan meminta assessment ke OJK. Jadi kalau dilihat, ketika bank-bank pelaksana tengah membutuhkan likuiditas tentu memerlukan proses yang cepat," imbau legislator dapil Jawa Timur V itu.