DPR Bersyukur Klaster Pendidikan Dihapus dari RUU Cipta Kerja

Bangun Santoso | Stephanus Aranditio
DPR Bersyukur Klaster Pendidikan Dihapus dari RUU Cipta Kerja
Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda di Gedung DPR-MPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (13/11/2019) sore. [Suara.com/Arief Apriadi]

"Kami meyakini banyak mudharat daripada manfaatnya ketika penyelenggaraan pendidikan diatur dalam RUU Ciptaker,

Suara.com - Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda menilai keputusan pemerintah dan DPR sudah tepat mencabut Klaster Pendidikan dan Kebudayaan dari Omnibus Law Rancangan Undang-Undang atau RUU Cipta Kerja.

Menurut Syaiful, klaster pendidikan yang ada dalam draft RUU Cipta Kerja terlalu mengkomersilkan pendidikan. Padahal seharusnya pendidikan berorientasi pada ilmu, bukan laba.

"Kami meyakini banyak mudharat daripada manfaatnya ketika penyelenggaraan pendidikan diatur dalam RUU Ciptaker,” kata Syaiful Huda, Jumat (25/9/2020).

Dia menjelaskan, dalam RUU Cipta Kerja ada banyak pasal yang kontroversial dan mengancam pendidikan Indonesia seperti penghapusan persyaratan pendirian perguruan tinggi asing di Indonesia dan penghapusan prinsip nirlaba dalam otonomi pengelolaan perguruan tinggi.

Baca Juga: Omnibus Law Diharapkan Jadi Pendongkrak Investasi di Tengah Pandemi

Belum lagi ancaman penghapusan kewajiban bagi perguruan tinggi asing untuk bekerjasama dengan perguruan tinggi nasional yang menjadikan Indonesia sebagai pasar bebas pendidikan.

"Kami tidak bisa membayangkan jika RUU Ciptakaer kluster pendidikan benar-benar disahkan. Pasti banyak kampus-kampus di Indonesia yang akan gulung tikar karena kalah bersaing dengan berbagai perguruan tinggi asing yang lebih mapan,” jelasnya.

Menurut Huda, penataan pendidikan jika memang harus dilakukan cukup dengan merevisi UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional, UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, maupun UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang hingga saat ini masih relevan.

Diketahui awalnya, dalam RUU Cipta Kerja pemerintah mengusulkan mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang ada dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Kemudian juga UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran.

Baca Juga: Klaster Pendidikan Dicabut dari RUU Cipta Kerja, Ini Kata Kemendikbud

Rencana ini mendapatkan penolakan dari Aliansi Organisasi Pendidikan karena dinilai akan memasukan pendidikan dan kebudayaan dalam rezim investasi dan kegiatan berusaha.

"Hal ini telah menggeser politik hukum pendidikan menjadi rezim perizinan berusaha melalui penggunaan terminologi izin berusaha pada sektor pendidikan, yang sesungguhnya tidak berorientasi laba," kata Sekretaris Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama Harianto Oghie dalam konferensi pers, Selasa (22/9/2020).

Aliansi ini terdiri dari Majelis Pendidikan Tinggi dan Penelitian Pengembangan (Diktilitbang) PP Muhammadiyah, Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) PP Muhammadiyah, LP Ma'arif NU PBNU, NU Circle, Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah.

Kemudian Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI), Persatuan Keluarga Besar Taman Siswa (PKBTS), Majelis Wali Amanat Universitas Djuanda Bogor.


Twitter Dpr

Parlementaria

Berita, fakta dan informasi mengenai seputar yang terjadi di DPR-RI