Bebani Rakyat, DPR Minta Pemerintah Tinjau Ulang PMK Nomor 6 Tahun 2021

Fabiola Febrinastri
Bebani Rakyat, DPR Minta Pemerintah Tinjau Ulang PMK Nomor 6 Tahun 2021
Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan. (Dok : DPR)

Pada kuartal II-2020, sektor infokom mampu tumbuh 10,83 persen.

Suara.com - Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 6/PMK.03/2021 diserukan untuk ditinjau ulang, karena akan membebani rakyat. PMK ini berisikan penarikan pajak PPN dan PPh atas penjualan pulsa, kartu perdana, token, dan voucher. PMK ini mulai berlaku efektif 1 Februari 2021 mendatang.

Demikian disampaikan anggota Komisi XI DPR RI, Heri Gunawan saat dimintai responsnya atas penerbitan PMK tersebut, Sabtu (30/1/2021). Menurut Hergun, begitu ia akrab disapa, saat ini rakyat masih dibelit kesulitan menghadapi pandemi Covid-19. Tidak semestinya aturan yang sangat bersentuhan dengan kebutuhan rakyat kecil ini dikeluarkan, walau pemerintah sudah mengucurkan stimulus.

Ingat, tegas Hergun, tidak semua rakyat menikmati dana stimulus tersebut. Apalagi, belum ada pemutakhiran data kemiskinan, sehingga masih banyak rakyat miskin tak tersentuh dana bantuan sosial pemerintah. Jadi, tidak saja momentumnya yang tidak tepat, PMK tersebut juga kian menjerat rakyat miskin pada keterpurukan sosial dan ekonomi.

Saat yang sama, lanjut politisi Partai Gerindra ini, perlu diingat pula pemerintah sedang menerapkan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) di Jawa dan Bali, plus Pemerintah Provinsi Jakarta juga memberlakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).

Baca Juga: Komisi X DPR RI Dukung PSSI Gelar Kompetisi

“Masyarakat pun harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli pulsa dan token listrik dalam rangka WFH (work from home) dan belajar daring," kilahnya.

Hergun memahami, pendapatan pajak anjlok di tahun 2020. Realisasi sementara pajak 2020 hanya mencapai Rp1.070 triliun meleset dari target APBN-Perpres 72/2020 sebesar Rp1 198,8 trilun atau hanya terealisasi 89,3 persen saja. Namun, bukan berarti itu menjadi dasar untuk memungut pajak dari pulsa, kartu perdana, token dan voucher.

Meskipun pemerintah berdalih bahwa pemungutan pajak tersebut hanya akan menyasar sampai distributor tingkat dua, namun tetap saja dalam praktiknya akan berdampak pada konsumen. Saat ini di tingkat eceran terbawah, distributor memungut harga Rp 1.000 hingga Rp 2.000. Misalnya, ia mencontohkan, membeli pulsa Rp 10.000, maka konsumen akan dikenakan harga Rp 12.000.

“Kita tidak ingin nanti setelah pemberlakukan pemungutan pajak, konsumen akan membayar Rp 13.000 untuk pembelian pulsa Rp 10.000. Marginnya makin lebar. Ini sangat memberatkan rakyat,” keluh Kapoksi Gerindra di Komisi XI itu.

Di sisi lain, Hergun melihat, pungutan pajak token listrik ini sangat lucu. Dulu pemerintahlah yang memaksa rakyat bermigrasi dari model pembayaran pascabayar ke model prabayar atau token.

Baca Juga: KPK Cecar Sekjen DPR Indra Iskandar Soal Proyek Helikopter PT DI

Saat ini mayoritas konsumen PLN sudah menggunakan model prabayar. Namun, bila saat ini tiba-tiba pembelian token akan dipungut pajak, itu artinya pemerintah telah menjebak rakyat. 


Twitter Dpr

Parlementaria

Berita, fakta dan informasi mengenai seputar yang terjadi di DPR-RI