Kudeta Militer di Myanmar Coreng Citra Demokrasi ASEAN

Fabiola Febrinastri | Dian Kusumo Hapsari
Kudeta Militer di Myanmar Coreng Citra Demokrasi ASEAN
Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI Fadli Zon. (Dok : DPR).

Kudeta militer yang terjadi kemarin telah menarik mundur proses demokrasi yang sudah berjalan.

Suara.com - Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI, Fadli Zon mengaku prihatin atas kudeta yang dilakukan oleh militer Myanmar pada hari Senin, 1 Februari 2021.

Fadli menilai, kudeta di Negeri Pagoda Emas itu tidak hanya sebagai kemunduran demokrasi bagi Myanmar, namun juga bisa mempengaruhi persepsi dunia terhadap praktik demokrasi di ASEAN.

"Sebagai anggota parlemen, saya sangat prihatin, sebab kudeta itu dilakukan saat parlemen baru Myanmar hasil Pemilu 2020 akan memulai persidangan. Pengambilalihan kekuasaan oleh militer Myanmar itu telah menghilangkan peran parlemen sebagai alat kontrol kekuasaan. Ini buruk bagi demokrasi," ungkap Fadli Zon dalam siaran persnya, Selasa (2/2/2021).

Oleh karenanya, politisi Fraksi Partai Gerindra ini berharap, ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA), yang merupakan organisasi parlemen negara-negara ASEAN, perlu segera merespons tentang hal itu.

Baca Juga: Tarif Pajak Dividen 7,5 Persen, DPR Yakin LPI Mampu Tarik Investor Asing

Lebih lanjut dijelaskan Fadli, hingga 2011 silam, Myanmar memang diperintah oleh angkatan bersenjata, namun sesudah itu mereka melakukan reformasi demokrasi dan mengakhiri kekuasaan militer.

Kudeta militer yang terjadi kemarin telah menarik mundur proses demokrasi yang sudah berjalan, dan Fadli sangat menyayangkan hal itu terjadi.

Fadli Zon juga mencemaskan krisis politik di Myanmar, yang menurutnya akan menghambat penyelesaian tragedi kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya.

Sebagai catatan, sejak 2017 silam ratusan ribu etnis Rohingya terusir dan telah mengungsi ke berbagai negara, termasuk Indonesia, karena tindakan keras militer Myanmar. Tindakan militer Myanmar ini jelas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) secara brutal.

"Pada akhir 2017, saya telah melihat langsung kamp pengungsian di Cox Bazaar, perbatasan Bangladesh, yang dihuni ratusan ribu warga Rohingya. Mereka adalah korban yang selamat dari penyiksaan dan penindasan militer Myanmar. Bahkan saya telah bertemu langsung di Jenewa dengan Mantan Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Kofi Annan yang menginisiasi investigasi melalui Annan Report. Annan sangat prihatin atas dominasi militer dalam formasi pemerintahan sipil Myanmar," ungkap Fadli.

Baca Juga: Baleg DPR: Beberapa Fraksi Menolak Revisi UU Pemilu

Di era kepemimpinan sipil saja, masalah Rohingya tak bisa diselesaikan dengan baik, karena pemimpin sipilnya takut kepada militer. Sekarang, dengan kudeta militer dan krisis politik, kasus Rohingya akan semakin diabaikan pemerintah Myanmar. Itu sebabnya pihaknya mendesak agar semua pihak yang terlibat konflik di Myanmar menahan diri.


Twitter Dpr

Parlementaria

Berita, fakta dan informasi mengenai seputar yang terjadi di DPR-RI