Tim Pansus Otsus Papua Serap Aspirasi ke Jayapura

Fitri Asta Pramesti | Restu Fadilah
Tim Pansus Otsus Papua Serap Aspirasi ke Jayapura
Pansus Otsus DPR Papua. (Dok.DPR)

Kemajuan Papua masih lambat dan tertinggal dibandinhgkan provinsi lain.

Suara.com - Tim Panitia Khusus (Pansus) Otonomi Khusus (Onsus) DPR Papua melakukan silaturahmi ke Jayapura dalam rangka menyerap aspirasi warga di sana pada Senin, (3/5/2021).

Kegiatan tersebut dihadiri oleh beberapa pejabat penting, diantaranya, Gubernur Papua yang diwakili oleh Sekretaris Daerah (Sekda), Dance Yulian Flassy; Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib; Kapolda Papua, Irjen Mathius D Fakhiri; Pangdam XVII/Cenderawasih Papuas, Mayjen TNI Ignatius Yogo Triyono serta beberapa pejabat penting lainnya

Dalam kunjungannya, Ketua Tim Kunker Pansus Onsus DPR Papua, Yan Permenas Mandenas mengatakan, otonomi khusus bagi Provinsi Papua yang diberikan melalui Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua telah dilaksanakan selama hampir 20 tahun.

Pemberian otonomi khusus tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap hak asasi manusia, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain di Indonesia.

Baca Juga: Mahfud MD: Dana Pembangunan Papua Banyak Tapi Dikorupsi Elite Setempat

Dana otonomi khusus juga telah banyak dikucurkan untuk mendukung pelaksanaannya. Hingga tahun 2021, total dana otsus dan dana tambahan infrastruktur yang dialokasikan untuk Papua sejak tahun 2002 sebesar Rp 100,96 triliun.

"Namun demikian, kemajuan Papua cukup lambat dan masih tertinggal jika dibandingkan dengan kemajuan provinsi lainnya," kata Yan Permenas dalam keterangannya pada Selasa, (4/5/2021).

Dalam kesempatan tersebut, Politisi Gerindra itu juga membeberkan temuan-temuannya selama ini. Di mana, tingkat buta huruf di Papua masih yang tertinggi yaitu sebesar 29 persen. Sementara tingkat partisipasi anak sekolah di Papua juga terendah yaitu 76,18 persen, sedangkan rata-rata angka partisipasi murni nasional 95,73 persen.

Begitu pula tingkat harapan hidup, paling rendah juga ada di Papua (65 tahun). Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua juga paling rendah yaitu 57,65 persen, sementara rata-rata nasional ada di angka 69,53 persen. Tingkat kemiskinan paling tinggi juga ada di Papua yaitu 28,94 persen.

"Kondisi tersebut memunculkan ketidakpuasan dan dapat menimbulkan gejolak di Papua. Ada kekhawatiran kondisi tersebut dimanfaatkan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) atau pun kelompok separatis lainnya untuk merongrong Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," tegas legislator asal Negeri Cenderawasih ini.

Baca Juga: Ratusan Akun Palsu Berbahasa Belanda Muncul Dukung Otsus Papua

Lebih lanjut, dia juga menyoroti isu atau berita hoax yang menjelek-jelekan Indonesia telah melanggar hak asasi manusia Papua dan tidak menaruh perhatian pada kesejahteraan rakyat Papua yang beredar di dunia internasional.

"Permasalahan ini perlu mendapat perhatian kita semua karena dapat mengancam stabilitas wilayah Papua sehingga pembangunan menjadi terhambat," tukasnya.

Sementara mewakili Gubernur Papua, Sekretaris Daerah Papua, Dance Yulian Flassy mengatakan, Pemerintah Daerah Papua berharap Otonomi Khusus akan membawa kemajuan dan perkembangan masyarakat Papua yang lebih sejahtera. Sesuai arahan Presiden, perlu lompatan baru untuk akselerasi pembangunan dan mengajak seluruh elemen masyarakat Papua dalam proses pembangunan.

"Otonomi khusus yang sudah berjalan 20 tahun diharapkan mampu mendorong pembangunan infrastruktur yang memadai serta kemajuan sumberdaya manusia Orang Asli Papua (OAP) melalui pendidikan formal yang menjangkau seluruh pelosok Papua," jelas Dance.

Timotius Murib, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) mengatakan, salah satu permasalahannya adalah penyusunan RUU Otonomi Khusus Papua dilakukan secara sepihak oleh pemerintah pusat tanpa melibatkan aspirasi Orang Asli Papua.

"Bahkan ada tumpang tindih peraturan perundang-undangan yang mengamputasi kewenangan pemerintah daerah. Ada sekitar 24 kewenangan dari kesepakatan otonomi khusus yang belum dijalankan (diberikan) oleh pemerintah pusat," kata Timotius.

Menurut Timotius, perlu ada ruang dialog antara pemerintah pusat dengan orang asli Papua dengan rekomendasi dari MRP. Ia juga meminta rapat koordinasi bersama MRP/MRPB, DPRP/DPRPB dengan DPR RI sebelum melakukan perubahan RUU Otonomi Khusus.

"Tidak perlu buru-buru dalam proses perubahan RUU karena menyangkut hajat hidup masyarakat Papua," tutupnya.

Tim Kunker Pansus DPR RI Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dipimpin Yan Permenas Mandenas (Gerindra) diikuti oleh Marthen Douw (PKB), Mohammad Idham Samawi, Darmadi Durianto, Masinton Pasaribu (PDIP), Lodewijk F. Paulus, Trifena M. Tinal (Golkar), Sulaeman L Hamzah (Nasdem), Willem Wandik (Demokrat) dan Junaidi Auly (PKS).


Twitter Dpr

Parlementaria

Berita, fakta dan informasi mengenai seputar yang terjadi di DPR-RI