Yahya Zaini Nilai Inpres Nomor 1 Tahun 2022 Tidak Relevan

Fabiola Febrinastri | Restu Fadilah
Yahya Zaini Nilai Inpres Nomor 1 Tahun 2022 Tidak Relevan
Anggota Komisi IX DPR RI, Yahya Zaini. (Dok: DPR)

Pemerintah seharusnya memiliki upaya-upaya yang sistematis dan intensif.

Suara.com - Instruksi Presiden (Inpres) Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tengah menuai sorotan dari masyarakat.

Anggota Komisi IX DPR RI, Yahya menilai, Inpres yang diteken Presiden Jokowi itu tidak relevan jika dijadikan persyaratan di berbagai hal.

"Jadi menurut saya banyak pelayanan yang semestinya tidak menjadikan syarat dijadikan syarat, misalnya ya orang di kelas menengah keatas umumnya kan mereka tidak menjadi peserta BPJS karena mereka menjadi peserta asuransi swasta, masa mereka harus dipersyaratkan membeli tanah harus mendaftar dulu padahal ga dipakai ya untuk apa, jadi menurut saya tidak relevan, jadi harus dicari terobosan-terobosan yang memang lebih tepat dan tepat sasaran,"katanya kepada pada Selasa, (22/2/2022).

Yahya mengakui, memang tujuan inpres ini dalam rangka universal head coverage yang di mana, sampai sekarang kepesertaan BPJS Kesehatan baru mencapai 86 persen, dan ditargetkan pada tahun 2024 mencapai 98 persen. Namun, seharusnya Pemerintah memiliki upaya-upaya yang sistematis dan intensif, ketimbang menerapkan BPJS Kesehatan menjadi syarat di berbagai hal.

Baca Juga: Komisi IX DPR Desak Pemerintah Penuhi Ketersediaan Reagen Sebagai Alat Tes Covid-19 di Gorontalo

"Memang semestinya ada upaya-upaya yang sistematis dan instensif, tetapi inpres yang keluar inikan dilihat cukup memberatkan masyarakat, karena memang banyak pelayanan yang tidak terkait langsung dengan masalah kesehatan, sehingga yang perlu dipikirkan adalah cara yang efektif untuk meningkatkan kepesertaan,"paparnya.

Contohnya, lanjut dia, bagaimana mencari terobosan ke peserta bukan penerima upah (PBPU) yaitu peserta yang mandiri itu yang paling banyak. Kemudian yang kedua dengan meningkatkan PBI, mengingat PBI saat ini, masih banyak orang yang tidak mampu dan belum tercover oleh PBI di lapangan.

"Contoh di dapil saya misalnya, banyak sekali orang yang tidak mampu yang belum menjadi peserta PBI, karna data PBI ini berasal dari DTKS dari Kemensos yang menghimpun datanya adalah para kepala dinsos-dinsos di masing-masing kabupaten kota, sedangkan dinsos sumber datanya adalah dari kepala desa kalau kepala desanya objektif mungkin tidak ada masalah tapi karena kepala desanya tidak objektif ini menjadi masalah, sehingga orang yang didaftarkan menjadi peserta PBI ini orang yang tidak tepat, itu yang kita hadapi di lapangan,"tutupnya.


Twitter Dpr

Parlementaria

Berita, fakta dan informasi mengenai seputar yang terjadi di DPR-RI