Soal Pembatalan Indonesia Tuan Rumah U20 2023, Fadli Zon: FIFA Terapkan Standar Ganda Soal Israel
FIFA menyebutkan pembatalan ini dikarenakan situasi terkini di dalam negeri Indonesia.
Suara.com - Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA), pada Rabu (29/32023), secara resmi telah mengumumkan pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U20 2023. Dalam keterangan tertulis di laman resminya, FIFA menyebutkan pembatalan ini dikarenakan ‘situasi terkini’ di dalam negeri Indonesia.
Menurut Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI, Fadli Zon, yang dimaksud dengan situasi terkini FIFA tersebut pun tak jelas dan terkesan menutupi apa yang dimaksudnya. Namun salah satu situasi terkini, menurutnya, bisa saja soal ramainya penolakan berbagai kalangan atas rencana kedatangan Timnas Israel U20 ke Indonesia.
Sebagai organisasi sepakbola sejagat, menurut Fadli, FIFA mestinya bisa mengakomodasi kepentingan semua negara, termasuk memahami bahwa bagi sejumlah negara, terutama sebagian negara muslim, Israel bukan hanya sekedar isu olahraga, melainkan merupakan isu politik dan kemanusiaan yang serius.
Ia menilai, tak seharusnya FIFA menempatkan atau memaksakan aturannya pada posisi lebih tinggi daripada aturan hukum, bahkan konstitusi sebuah negara.
Baca Juga: Terima Delegasi Ukraina, BKSAP Dukung Upaya Ukraina Mewujudkan Perdamaian
“Membela kepentingan Israel, sembari mengabaikan aspirasi negara-negara lain yang punya garis politik tegas terhadap Israel, membuat FIFA punya standar ganda dalam politik sepakbola,” ujar Fadli, dalam keterangan tertulis yang diterima Parlementaria, Kamis (30/3/2023).
Sayangnya, menurut Politisi Fraksi Partai Gerindra tersebut, selama ini FIFA memang telah menerapkan standar ganda dalam politik sepakbola. Setidaknya, ada dua alasan mengapa FIFA dianggap demikian. Pertama, FIFA terlihat tak konsisten dengan larangan politisasi sepakbola.
"Ketika FIFA dan UEFA menjatuhkan sanksi pelarangan terhadap tim nasional serta klub Rusia untuk berpartisipasi dalam semua kompetisi di bawah FIFA dan UEFA, serta melarang klub dan timnas Belarusia untuk melakukan pertandingan di kandang sendiri sebagai sanksi atas dukungan mereka terhadap Rusia dalam perang Ukraina, apakah itu bukan pelarangan yang bersifat politik?" ujarnya.
Suka atau tidak suka, lanjut Fadli, sepakbola sebenarnya tak pernah bisa dipisahkan dari soal politik. Olahraga ini, yang bisa menghimpun jutaan massa dan miliaran penonton, memang bisa jadi panggung politik strategis.
"Sehingga aturan yang menuntut agar kita tidak mencampuradukkan urusan olahraga dengan politik adalah aturan yang tidak masuk akal, terutama karena FIFA sendiri terbukti tak mentaatinya," lanjutnya.
Baca Juga: Konferensi SEAPAC: Transparansi Keuangan Politik Sebagai Bagian Esensial dalam Pemberantasan Korupsi
Kedua, FIFA menuntut semua negara agar berlaku fair terhadap atlet Israel, padahal Israel sendiri tak pernah berlaku fair terhadap atlet dan dunia olahraga Palestina. Meski tidak banyak diekspos oleh media arus utama internasional, bukan rahasia lagi militer Israel sejak lama telah menjadikan bidang olahraga serta para atlet Palestina sebagai target serangan mereka.
Pada November 2006, misalnya, militer Israel pernah mencegah semua atlet sepakbola Palestina untuk berpartisipasi dalam pertandingan final babak penyisihan grup kualifikasi AFC (Asian Football Confederation).
“Aksi yang tak mudah untuk dilupakan adalah ketika Israel tidak mengizinkan para pemain dan ofisial tim Palestina berpartisipasi dalam pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2010 melawan Singapura,” tegas anggota Komisi I DPR RI itu.
Aksi jahat Israel tahun 2007 itu, tambah Fadli, telah mengganjal kesempatan timnas Palestina di ajang Piala Dunia. Celakanya, alih-alih membela atlet Palestina dan mengutuk Israel, FIFA malah memutuskan untuk memberikan kemenangan otomatis kepada Singapura 3-0. Padahal, kita tahu, dalam pertemuan terakhir kualifikasi Piala Dunia 2022 lalu, timnas Palestina bisa menekuk Singapura dengan keunggulan telak 4-0.
"Sangat tak relevan kalau FIFA membela atlet Israel dengan dalih fair play. Seharusnya para atlet Israel itu ditagih pertanggungjawaban moralnya atas aksi brutal dan tidak fair yang dilakukan oleh pemerintah mereka terhadap atlet dan dunia olahraga Palestina," jelasnya.
Dua alasan tersebut, lanjut Fadly, sudah cukup menunjukkan bahwa selama ini FIFA telah berlaku tidak fair dan menerapkan standar ganda dalam ‘kebijakan’ sepakbola. Pencoretan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 2023 memang dalam jangka pendek merugikan dunia sepakbola di tanah air. Namun, di luar soal itu, dengan pencoretan ini Indonesia sebenarnya tidak kehilangan muka.
"Jika kita tetap harus menerima kedatangan para atlet Israel, kita sebenarnya telah merendahkan konstitusi serta garis politik luar negeri di bawah aturan FIFA. Padahal, sepanjang sejarah republik ini, kita pernah jadi tuan rumah berbagai ajang olahraga internasional. Tapi posisi itu tak pernah membuat kita sampai kehilangan prinsip dan merendahkan moral yang selama ini dijunjung," imbuhnya.
Jangan lupa, tegasnya, Indonesia adalah negara pertama di dunia yang pernah memboikot keikutsertaan Israel dalam ajang olahraga. Sebagai tuan rumah Asian Games IV tahun 1962, kita pernah menolak kedatangan delegasi Israel.
Meskipun akibat keputusan itu, tambah Fadli, Indonesia harus menerima skorsing dari IOC (International Olympic Committee), namun belakangan preseden itu mendapat dukungan resmi dari AGF (Asian Games Federation). Menjelang Asian Games 1978 di Bangkok, AGF secara resmi memberi sanksi dan memboikot delegasi Israel dengan alasan keamanan.
“Bagi Indonesia soal izin masuk bagi para pemain bola Israel itu memang bukan hanya semata persoalan olahraga, tapi soal prinsip. Tidak adanya solusi lain yang bisa diterima oleh FIFA, sehingga membuat Indonesia akhirnya kehilangan posisi sebagai tuan rumah, menunjukkan jika organisasi sepakbola itu masih belum lepas dari standar ganda. FIFA hanya membela kepentingan Israel, tapi mengabaikan posisi dan pendapat negara-negara lain mengenai negeri penjajah tersebut,” tutupnya.