Jangan Sampai RS Internasional Didominasi Tenaga Asing Akibat Standar Kita Tertinggal

Fabiola Febrinastri | Restu Fadilah
Jangan Sampai RS Internasional Didominasi Tenaga Asing Akibat Standar Kita Tertinggal
Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani saat mengikuti RDP Komisi IX bersama Kemenkes, Diktiristek, KKI, dan Kolegium Kesehatan Indonesia di Ruang Rapat Komisi IX, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (19/11/2025). (Dok: DPR)

Pembangunan RS Internasional akan sia-sia, apabila kualitas lulusan kedokteran dalam negeri tidak memenuhi standar yang diakui dunia.

Suara.com - Di tengah gencarnya pembangunan rumah sakit berstandar internasional di berbagai wilayah Indonesia, Komisi IX DPR RI mengingatkan adanya paradoks besar yang tidak boleh diabaikan: mutu dan rekognisi tenaga kesehatan Indonesia belum diakui di tingkat global, sehingga berpotensi membuat fasilitas tersebut justru diisi oleh profesional asing, bukan tenaga lokal.

Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani mengungkapkan bahwa pembangunan RS internasional memang langkah maju, tetapi akan sia-sia bila kualitas lulusan kedokteran dalam negeri tidak memenuhi standar yang diakui dunia.

“Kalau kita membangun RS internasional tetapi tenaga kesehatannya belum memenuhi standar internasional, siapa yang akan bekerja di sana? Jangan sampai fasilitas megah itu justru menjadi panggung bagi dokter asing,” ujarnya dalam RDP Komisi IX bersama Kemenkes, Diktiristek, KKI, dan Kolegium Kesehatan Indonesia di Ruang Rapat Komisi IX, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (19/11/2025).

Netty menilai akar persoalan terletak pada standar pendidikan kesehatan di Indonesia yang masih belum seragam dan belum terharmonisasi dengan benchmark global. Mulai dari kurikulum, jam praktik klinis, model asesmen, hingga standar kompetensi, semuanya belum berada pada level yang dibutuhkan untuk memperoleh rekognisi internasional.

Baca Juga: Hasil Pertemuan Empat Mata Prabowo - Dasco: Genjot Ekonomi 8 Persen

“Kita tidak bisa bicara internasional kalau di dalam negeri saja standar pendidikan masih berbeda antar kampus, antar kota, bahkan antar provinsi,” tegasnya.

Menurutnya, Kemenkes, Diktiristek, KKI, dan seluruh kolegium harus duduk bersama untuk menyusun roadmap nasional menuju rekognisi global. Ia menekankan bahwa proses harmonisasi tidak boleh menunggu momentum, tetapi harus dimulai saat ini juga, agar Indonesia tidak tertinggal jauh dari negara lain di kawasan ASEAN.

“Kalau kualitas tidak dikejar sekarang, kita akan menjadi penonton di negeri sendiri. Kita punya potensi besar, tapi kalau tidak disejajarkan dengan standar dunia, tenaga kita tidak akan dianggap,” ujar politisi Fraksi PKS tersebut.

Netty menambahkan bahwa isu rekognisi internasional bukan hanya soal kompetensi dokter, tetapi juga menyangkut seluruh tenaga kesehatan, mulai dari perawat, bidan, tenaga laboratorium, radiografer, hingga fisioterapis. Menurutnya, keberhasilan RS internasional tidak hanya bergantung pada dokter, tetapi pada keseluruhan sistem layanan kesehatan.

“Harus menyeluruh, bukan parsial. Kalau hanya dokter yang ditingkatkan, tetapi perawat atau analis laboratoriumnya tidak, kualitas pelayanan tetap tidak akan setara dengan rumah sakit di luar negeri,” katanya.

Baca Juga: RKUHAP Resmi Jadi UU: Ini Daftar Pasal Kontroversial yang Diprotes Publik

Ia juga mengingatkan bahwa Indonesia harus menyiapkan strategi jangka panjang agar tenaga kesehatan lokal tidak tersingkir dalam kompetisi global di negeri sendiri. Selain harmonisasi standar, peningkatan kualitas UKOM, pemerataan fasilitas pendidikan, hingga penguatan rumah sakit pendidikan menjadi bagian penting dari agenda besar tersebut.

“Ini bukan hanya soal bangunan RS yang megah. Ini soal memastikan rakyat Indonesia mendapatkan pelayanan terbaik oleh tenaga kesehatan bangsa sendiri,” tutup Netty. (adv)


Twitter Dpr

Parlementaria

Berita, fakta dan informasi mengenai seputar yang terjadi di DPR-RI