Ketua Komisi X Minta Guru Honorer Senior Dapat Akses Prioritas dalam Proses Penataan

Fabiola Febrinastri
Ketua Komisi X Minta Guru Honorer Senior Dapat Akses Prioritas dalam Proses Penataan
Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian. (Dok: DPR)

Penghapusan status honorer bukan sekadar mengikuti alur reformasi birokrasi.

Suara.com - Di tengah peringatan Hari Guru Nasional, Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian mendesak pemerintah memastikan kebijakan penghapusan status guru honorer pada akhir 2025 tidak menciptakan ketidakpastian dan kerentanan baru bagi para pendidik. Ia menegaskan bahwa Hari Guru bukan sekadar seremoni, tetapi panggilan moral untuk memastikan perlindungan profesi dan kesejahteraan guru benar-benar terwujud dalam kebijakan nyata.

“Pada Hari Guru Nasional ini, pemerintah harus menunjukkan penghormatan nyata kepada guru: pastikan masa depan mereka terjamin. Reformasi kepegawaian harus menjadi revolusi kesejahteraan guru, bukan beban baru,” tutur Hetifah dalam keterangan tertulis kepada Parlementaria, di Jakarta, Rabu (26/11/2025).

Hetifah menjelaskan bahwa penghapusan status honorer bukan sekadar mengikuti alur reformasi birokrasi, melainkan sebuah momentum untuk melakukan revolusi kesejahteraan guru. Ia menekankan bahwa kebijakan ini harus menjawab akar persoalan ketidakpastian status, rendahnya perlindungan, dan timpangnya kesejahteraan guru honorer.

Guru honorer yang telah bertahun-tahun mengabdikan diri harus mendapatkan akses prioritas dalam proses penataan, baik melalui pengangkatan sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) maupun seleksi terbuka yang adil dan tidak diskriminatif.

Baca Juga: Masyarakat Lebih Percaya Damkar daripada Polisi, Komisi III DPR: Ada yang Perlu Dibenahi!

“Tidak boleh lagi pengabdian belasan tahun menjadi alasan tertunda tanpa kepastian,” tegas Politisi Fraksi Partai Golkar ini.

Hetifah menekankan bahwa, jika status honorer akan dihapus, tidak boleh dimaknai sebagai penghapusan hak. Penghasilan layak, tunjangan tetap, jaminan sosial, serta perlindungan hukum harus menjadi klausul wajib dalam kebijakan baru. “Ini bukan bonus, ini hak dasar,” tandasnya.

Hetifah menyoroti perbedaan regulasi antara guru sekolah umum yang berada di bawah Kemendikbudristek), dan guru madrasah di bawah Kementerian Agama. Ia menekankan perlunya koordinasi erat antara Kementerian Agama, Kementerian PANRB, Kemendikbudristek, pemerintah daerah, dan BKN agar tidak ada guru yang terlantar.

“Jangan sampai reformasi kepegawaian justru menciptakan dua kecepatan: satu guru diuntungkan, yang lain tertinggal,” ujarnya.

Hetifah turut mengingatkan bahwa pemerintah melalui amanat UU ASN, aturan turunan, serta Surat Edaran KemenPAN-RB telah menetapkan bahwa hingga akhir 2025 nomenklatur guru honorer tidak akan ada lagi. Seluruh guru non-ASN yang memenuhi syarat akan diarahkan masuk dalam skema PPPK Paruh Waktu.

Baca Juga: DPR Desak Polisi Gerak Cepat Usut Kasus Penculikan Anak Usai Tragedi Alvaro di Pesanggrahan

Namun hingga saat ini, proses penetapan dan pengangkatan PPPK Paruh Waktu masih menunggu terbitnya ketentuan teknis resmi dari Kementerian PANRB dan Badan Kepegawaian Negara (BKN).

“Keterlambatan regulasi teknis ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian bagi guru honorer di daerah,” jelasnya.

Untuk menghindari kekosongan layanan pendidikan, Hetifah menggarisbawahi bahwa pemerintah daerah tetap dapat mengusulkan kebutuhan tenaga guru melalui formasi instansional masing-masing pemda kepada KemenPAN-RB, apabila formasi nasional belum dibuka.

“Mekanisme ini penting agar sekolah tetap terpenuhi kebutuhan gurunya tanpa menyalahi ketentuan kepegawaian yang berlaku,” jelasnya.

Sebagai Ketua Komisi X, Hetifah menegaskan bahwa isu guru honorer bukanlah semata persoalan administratif. Ini adalah persoalan keadilan sosial dan kedaulatan pendidikan nasional.

“Jika kebijakan ini gagal, kita mengirim pesan bahwa pengabdian guru bukanlah investasi bangsa, melainkan beban yang bisa dicabut kapan saja,” kata Hetifah.


Twitter Dpr

Parlementaria

Berita, fakta dan informasi mengenai seputar yang terjadi di DPR-RI