Komisi III DPR: Kejahatan Korupsi Butuh Penanganan Luar Biasa

Ruben Setiawan
Komisi III DPR: Kejahatan Korupsi Butuh Penanganan Luar Biasa
Wakil Ketua Komisi III DPR Benny K Harman (tengah). [Antara/Rosa Panggabean]

Kejahatan korupsi merupakan kejahatan yang sangat luar biasa, sehingga penanganannya pun juga harus luar biasa.

Suara.com - Kejahatan korupsi merupakan kejahatan yang sangat luar biasa, sehingga penanganannya pun juga harus luar biasa. Penanganan kejahatan korupsi jangan sampai terhambat. Hal itu ditegaskan Anggota Komisi III DPR RI, Wenny Haryanto dalam pertemuan dengan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sulawesi Selatan, Suhardi, di Makassar, belum lama ini. Pertemuan ini digelar dalam rangka kunjungan kerja Komisi III DPR yang dipimpin Wakil Ketua Komisi III DPR Benny K Harman.

“Sayangnya, di Sulsel ini khususnya banyak sekali temuan-temuan, yaitu sebanyak 144 kasus dugaan korupsi, namun sejak Semester I Tahun 2015 kasus ini tidak diproses secara maksimal atau tidak ditindaklanjuti. Apa sebabnya penanganan kasus ini begitu lambat,” kata Wenny seperti dikutip dari laman dpr.go.id.

Selain itu, imbuh politikus Fraksi Partai Golkar itu, dari temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Sulsel selama lima tahun terakhir, diduga transaksi tersebut berupa kasus penipuan, korupsi, penggelapan pajak yang mayoritas pemilik rekeningnya adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pengusaha.

“Bahkan, menurut Wakil Direktur Lembaga Anti Corruption Commitee (ACC) Sulsel, Kadir Wokanubun, temuan tersebut membuktikan bahwa kinerja aparat penegak hukum di Sulsel khususnya itu belum maksimal. Ini apa sebetulnya yang terjadi, mengapa bisa tidak maksimum,” heran Wenny.

Politikus asal dapil Jawa Barat itu menanyakan juga hambatan apa yang dialami Kejaksaan dalam menangangi perkara tindak pidana korupsi di Sulsel.

“Temuan ini memperlihatkan ke kita bahwa kinerja aparat hukum Kejaksaan dan Kepolisian tidak bekerja secara maksimal untuk pencegahan tindak pidana korupsi,” kritik Wenny.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulsel, Suhardi mengatakan bahwa hambatan dalam penanganan perkara pidana korupsi tempat kedudukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang hanya ada di Ibukota Provinsi Sulsel dan Sulbar.

“Tempat tersebut cukup jauh dari beberapa Kejaksaan Negeri (Kejari) dan Cabang Kejaksaan Negeri (Cabjari) di daerah hukum Kejaksaan Tinggi Sulsel. Hal tersebut mengakibatkan kebutuhan pembiayaan yang tinggi untuk menghadirkan saksi-saksi dan mobilisasi atau akomodasi bagi tim Jaksa Penuntut Umum serta pengamanan yang ekstra. Sehingga memberikan pengaruh negatif terhadap optimalisasi percepatan penanganan perkara tindak pidana korupsi,” papar Suhardi.

Untuk itu, lanjut Suhardi, berdasarkan hal tersebut dapat diwacanakan pembentukan Pengadilan Tipikor di masing-masing wilayah hukum kabupaten/kota, agar memudahkan proses dan tujuan optimalisasi percepatan penanganan perkara tindak pidana korupsi dapat tercapai sesuai dengan asas peradilan pidana sederhana, cepat, dan biaya murah.

“Selain itu, jumlah tenaga Jaksa juga yang terbatas, dan volume pekerjaan yang tinggi,” alasan Suhardi, seraya beralasan bahwa Jaksa masih harus melaksanakan sidang yang tempatnya jauh dari tempat tugasnya masing-masing. (dpr.go.id)


Twitter Dpr

Parlementaria

Berita, fakta dan informasi mengenai seputar yang terjadi di DPR-RI