Nurdin Tampubolon, Sarjana Teknik "Pengawas" Keuangan
Pengalamannya yang banyak di dunia kerja dan usaha mendukung tugasnya di dewan.
Suara.com - Politisi senior yang satu ini tergolong punya latar belakang menarik, apalagi jika melihat tugasnya sekarang di Komisi XI DPR RI. Sebagaimana diketahui, Komisi XI adalah alat kelengkapan dewan yang secara spesifik mengurusi bidang keuangan dan operbankan. Komisi ini bermitra antara lain dengan Kementerian Keuangan, Kementerian PPN/Bappenas, BPKP, BPS, hingga Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Yang menarik, Nurdin sendiri di masa mudanya bisa dikatakan bukanlah lulusan bidang perekonomian, apalagi khusus keuangan. Lelaki kelahiran Pematang Siantar, 29 Desember 1954, ini justru adalah lulusan Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara (USU) tahun 1981. Lantas, bagaimana bisa seorang Sarjana Teknik bicara dan bertugas di bidang yang melingkupi keuangan dan perbankan?
Agaknya, pengetahuan dan seluk-beluk dunia usaha, termasuk masalah keuangan dan lika-likunya, banyak didapat Nurdin dari pengalaman kerjanya yang terbilang segudang. Sebagaimana tercantum dalam biodatanya di situs DPR, Nurdin bahkan tercatat sudah mulai memasuki dunia kerja sejak tahun 1979, atau sebelum resmi menamatkan pendidikan tinggi pertamanya. Beberapa di antara perusahaan yang pernah menjadi tempatnya bekerja seperti PT Indonesia Asbhan Aluminium, PT Astenia (Saum Group) dan lain-lain, hingga beberapa perusahaan belakangan di mana dia menjabat Komisaris.
Namun selain swasta, Nurdin sebenarnya juga pernah mengabdi sebagai PNS, tepatnya di Departemen Pertambangan dan Energi, terhitung sejak tahun 1983. Di situ dia pernah menduduki jabatan eselon IV sebagai Kepala Seksi Evaluasi Pembangunan. Yang kemudian juga patut dicatat adalah bahwa di lingkup lembaga legislatif, Nurdin sendiri sudah cukup lama berkiprah, mulai dari menjadi anggota MPR RI periode 1999-2004, DPD RI periode 2004-2009, serta sudah di DPR RI memasuki dua periode sejak tahun 2009.
Wajar jika Nurdin sebenarnya memang sudah terbilang familiar dengan masalah-masalah keuangan dan juga perbankan. Apalagi jika mengetahui bahwa Ketua Fraksi Partai Hanura ini adalah juga penyandang gelar MM (Magister Manajemen). Bahkan berbagai penghargaan dan pengakuan pun sudah diraihnya lantaran kiprah maupun ketokohannya di bidangnya, antara lain "Asean Development Citra Award 1997-1998" dari Asean Programme Consultant Indonesia Consortium, "Cipta Karya Pembangunan Indonesia 1998" dari Yayasan Gema Karya Pembangunan Indonesia, hingga "50 Pengusaha Muda Yang Sukses Tahun 1998" dari Menperindag, Menkop dan Menpora.
Di bidang organisasi, legislator dari daerah pemilihan (Dapil) Sumatera Utara I ini pun sudah terbilang kenyang pengalaman sejak masa kuliahnya. Pernah menjabat sebagai pengurus Senat Mahasiswa Fakultas Teknik USU, aktif di beberapa wadah Ikatan Alumni, Nurdin juga menjadi anggota Persatuan Insinyur Indonesia, hingga aktif pula di Persatuan Ahli Teknik Indonesia (PATI), serta agenda komunitas marganya.
Soroti Perbankan, Bicara Juga soal Moral Politik
Salah satu yang termasuk menjadi fokus tugas Nurdin dalam beberapa waktu belakangan adalah kasus terkait PT Pelindo II. Seperti diketahui, DPR RI pun telah membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk mengurusinya, di mana Nurdin ikut menjadi anggotanya. Nurdin bisa dikatakan termasuk salah satu yang kerap kali kritis bicara mengenai masalah ini, salah satunya seperti terekam dalam rapat di DPR pada Januari 2016 lalu.
Dalam rapat saat itu, kepada pihak OJK yang turut hadir, Nurdin menegaskan bagaimana kewajiban pengawasan yang seharusnya dijalankan OJK. Masalahnya kata Nurdin, Deutsche Bank (DB) selaku kreditor, ternyata juga terlibat sebagai advisor bagi Pelindo II saat perpanjangan kontrak pengelolaan Terminal Peti Kemas Jakarta (JICT) dengan Hutchinson Port Holding (HPH). Sementara berdasarkan hitungan Pansus, perpanjangan itu sendiri diduga merugikan negara sebesar lebih dari Rp20 triliun.
"Ini apa ini? Masa Deutsche (Bank) berfungsi kreditor dan juga advisor sekalian? Saya bingung kalau OJK tak mengawasinya. Itu jelas-jelas melanggar UU OJK. Bahkan saat penerbitan global bonds, Deutsche Bank juga sempat mau ikut," kritik Nurdin saat itu.
Terlepas dari itu, masalah seputar keuangan, kredit, perbankan dan sejenisnya, sebenarnya bukanlah satu-satunya yang menjadi perhatian Nurdin. Sebagai salah seorang legislator, Nurdin juga termasuk concern dengan elemen-elemen pembangunan demokrasi, khususnya lagi menyangkut moral para politisi saat ini yang terus dikritik rakyat.
Sebagaimana dilansir sejumlah media pada April lalu misalnya, Nurdin menyoroti persoalan moral politik tersebut dalam kaitannya dengan pembangunan demokrasi di Indonesia. Di mana dalam pandangan Nurdin, demokrasi hanyalah instrumen, sementara "aktor penting" yang menentukan berhasil-tidaknya suatu sistem demokrasi adalah manusia yang menjalankannya.
"Demokrasi hanya instrumen. Manusia tetaplah menjadi aktor penting dalam proses berjalannya sistem demokrasi, bahwa demokrasi membutuhkan orang-orang yang bermoral," tuturnya, sembari menambahkan bahwa persoalan rendahnya moral politik memang masih marak di negara-negara berkembang hingga sekarang.
"Apabila moral politik tidak dimiliki, maka akan mendekatkan seseorang pada tindakan koruptif, kolusi dan nepotisme, serta menjauhkan kesejahteraan rakyat. Itulah yang kerap terjadi di negara-negara berkembang," tandasnya.