Hanafi Rais: Ketimpangan Lahan Harus Dijawab Pemerintah
Ketimpangan penguasaan lahan justru terjadi pada 2003, saat Megawati menjabat presiden.
Suara.com - Ketimpangan penguasaan lahan masih nyata terjadi di Indonesia. Hal ini harus dijawab pemerintah.
Kritik politisi senior Amien Rais terhadap pemerintah soal ini jangan dibawa ke ranah politik dan metodologi. Faktanya, ketimpangan lahan memang lebih buruk daripada ketimpangan pendapatan rakyat Indonesia.
Hal ini dikemukakan Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Hanafi Rais, saat jumpa pers di ruang Fraksi PAN, Gedung Nusantara I, Komplek DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (29/3/2018).
“Isu ketimpangan tanah bergeser substansinya menjadi isu yang bersifat teknis bahkan politis, terutama menyangkut metodologi dan koleksi data. Pemerintah mengaburkan substansi kritik yang sesungguhnya, yaitu mengenai pesan dan semangat menegakkan reforma agraria dalam pemerintahan Jokowi,” paparnya.
Hanafi, yang didampingi ekonom Drajat Wibowo menyampaikan kepada pers, yang penting dalam reforma agraria adalah redistribusi lahan. Namun program ini dihadapkan pada sebuah fakta ketimpangan penguasaan lahan.
Sebagian kecil orang menguasai banyak lahan di Indonesia. Ini yang mestinya dijawab pemerintah sebelum periode 2019 berakhir.
“Reforma Agraria, kalau sekadar bagi-bagi sertifikat, tidak asli lagi. Sertifikat sudah hak masyarakat yang harus diberikan negara, seperti halnya KTP. Namun, masih banyak masyarakat kita yang belum senang, karena lahan mereka dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar. Ketimpangan lahan harus dijawab dengan sungguh-sungguh. Ketimpangan lahan harus dicarikan solusinya,” imbau politisi PAN ini.
Sementara itu Drajat mengungkapkan, data yang dirilis hasil sensus 10 tahun sekali dari BPS memperlihatkan, pada 1973, rasio gini (ketimpangan) lahan mencapai 0,55. Pada 1983 dan 1993 mencapai 0,5 dan 0,64, selanjutnya, pada 2003 berada di 0,72 dan pada 2013 mencapai 0,68.
Ketimpangan penguasaan lahan justru terjadi pada 2003, saat Megawati menjabat presiden.
“Rasio gini yang semakin tinggi, artinya semakin timpang. Skalanya 0-1. Kalau nilainya 0, berarti tak ada ketimpangan atau perfect equality, sementara rasio gini pendapatan rakyat Indonesia terakhir pada era SBY sekitar 0,4. Mungkin sekarang turun sedikit sekitar 0,41. Artinya, ketimpangan penguasaan lahan jauh lebih jelek daripada ketimpangan penghasilan rakyat Indonesia,” papar Drajat.