Pansus Bangun Konstruksi Hukum Baru dalam UU Terorisme
TNI penting untuk dilibatkan, karena skala gerakan terorisme terus meningkat.
Suara.com - Saat ini, Pansus DPR RI yang merumuskan revisi UU No.15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Terorisme) sedang membangun konstruksi hukum yang baru. Selain ada konten pencegahan, ada juga tim pengawas, pemulihan korban, dan keterlibatan TNI.
Ketua Pansus RUU Terorisme, Muhammad Syafi’i mengemukakan hal ini, di sela-sela rapat tim perumus RUU Terorisme, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (23/5/2018). Pada UU No.15/2003, kontennya hanya memuat penindakan, sehingga dinilai tak cukup lagi menampung kebutuhan hukum terkini.
“Padahal kita tahu, penindakan tidak bisa menyelesaikan masalah, selalu ada reproduksi teroris-teroris baru. Kita bangun konstruksi yang baru,” katanya.
Pencegahan adalah isu penting dalam RUU Terorisme. Pencegahan yang dimaksud bisa berupa kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi.
Dengan aksi pencegahan, mereka yang terpapar atau terhasut para teroris, bisa mengurungkan niatnya melakukan teror di tengah masyarakat. Sementara soal pelibatan TNI, Romo, begitu M. Syafi’i akrab disapa, RUU yang sedang dibahas ini telah membuka pintu dan teknis pelibatannya diatur dalam Peraturan Presiden.
TNI juga penting untuk dilibatkan, karena skala gerakan terorisme terus meningkat. Konstruksi lain dalam RUU ini adalah dibentuknya tim pengawas.
Tim pengawas inilah yang kelak akan memantau sejauhmana konsistensi aparat di lapangan dalam memerangi terorisme. Penegakan HAM tetap harus dikedepankan.
“Sebelumnya, korban-korban teroris yang tidak berdosa itu hanya mendapat kompensasi dan restitusi. Di UU yang baru ini, kita buat lebih detail. Selain pemulihan medis, ada pemulihan psikososial, pemulihan psikologi. Kompensasi dan restitusi tetap tidak dihilangkan. Semua korban teroris adalah tanggung jawab negara,” jelas Romo.