KPU Lampaui Kewenangan, Jika Jegal Mantan Terpidana Jadi Caleg
Ada sejumlah syarat yanh harus dipenuhi.
Suara.com - Ketua DPR RI, Bambang Soesatyo (Bamsoet), menilai, Komisi Pemilihan Umum (KPU) melampaui kewenangannya, jika masih tetap bersikukuh menjegal mantan terpidana korupsi untuk menggunakan hak dasarnya untuk dipilih sebagai calon legislatif.
“Kita mendukung KPU untuk menciptakan hasil demokrasi yang bersih bebas dari korupsi, tapi bersikukuh menjegal mantan terpidana korupsi untuk menggunakan hak dasarnya sebagai warga negara untuk dipilih sebagai calon legislatif, menurut saya, kurang bijaksana,” ujar Bamsoet, begitu wartawan biasa menyapa Bambang.
Menurutnya, dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah diatur, mantan napi yang sudah menjalani masa hukuman 5 tahun atau lebih boleh mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, selama yang bersangkutan mengumumkan diri ke publik mengenai kasus hukum yang pernah menjeratnya.
“Saya sependapat dengan pernyataan Wakil Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Saud Sitomorang bahwa mantan terpidana korupsi boleh saja dicalonkan partainya, jika memenuhi sejumlah syarat, antara lain, yang bersangkutan harus menyatakan/mendeklarasikan secara jujur bahwa dirinya mantan napi korupsi, tidak dicabut hak nya oleh keputusan pengadilan, melewati jeda waktu 5 tahun (jika tuntutan yang bersangkutan di atas lima tahun), serta menunjukan penyesalan dan berkelakuan baik selama menjalani tahanan serta tidak mengulangi perbuatannya,” paparnya dalam siaran persnya baru-baru ini.
Menurut politisi dari Fraksi Partai Golkar ini, jika KPU masih tetap bersikukuh, sementara dalam RDP bersama DPR, pemerintah dan Bawaslu beberapa waktu lalu hasilnya sudah jelas, tidak sepakat dengan usulan KPU lantaran tidak ada dalam UU Pemilu, maka berarti KPU sudah melampaui kewenangannya.
“Sikap KPU tersebut terlampau berlebihan dalam membangun pencitraan lembaganya, sebab UU sudah mengatur mengenai hak-hak seorang warga negara, termasuk para mantan terpidana. Keputusan seseorang kehilangan hak-hak politiknya itu ada di pengadilan. Bukan diputuskan dalam aturandi bawah UU. Jika KPU masih bersikukuh mengeluarkan aturan tersebut, itu sama saja dengan melawan UU. Atau kalau mau, kita amandemen saja dulu konstitusi kita agar KPU diberikan hak untuk membuat UU sendiri sekaligus melaksanakannya sendiri,” tegas Bamsoet.
Tidak hanya itu, dengan keputusan tersebut, KPU telah merampas hak-hak dasar warga negara untuk dipilih dan memilih. Seorang mantan narapidana setelah menjalani hukumannya dan kembali ke masyarakat, maka hak dan kewajibannya sama dengan warga negara lainnya.
Itu dijamin dalam konstitusi, kecuali pengadilan saat memutus perkara yang bersangkutan memutuskan pencabutan hak politiknya.
“Selain itu, KPU juga telah merampas hak warga negara yang akan memilih calon yg dijegal tersebut. Mulai dari keluarga, kerabat hingga masyarakat dimana mantan terpidana itu berdomisili. Soal apakah yang bersangkutan akan terpilih atau tidak, serahkan saja kepada masyarakat,” pungkasnya.
Sementara itu, Saut menilai, mantan narapidana korupsi bisa saja diberikan kesempatan ikut menjadi caleg dalam Pemilu 2019. Menurutnya, jika mantan napi korupsi menyesali perbuatannya dan masyarakat luas ternyata mau memilih orang tersebut, maka patut diberikan kesempatan.