DPR Pertanyakan Tingginya Pengangguran Lulusan SMK
BPS 2017 menyebut, 11,41 persen angka pengangguran berasal dari lulusan SMK.
Suara.com - Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) digadang-gadang akan menjadi pencetak tenaga kerja yang siap terjun ke lapangan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), lulusan SMK justru menjadi penyumbang terbesar angka pengangguran di Indonesia.
Data BPS 2017 menyebutkan, 11,41 persen angka pengangguran berasal dari lulusan SMK, dan tingginya angka ini pun dipertanyakan.
“Lulusan SMK yang digadang-gadang langsung bekerja, malah nganggur. Kami pun berdialog dengan berbagai stakeholder. Ada ketidaksesuaian antara jumlah lulusan SMK dengan permintaan pasar tenaga kerja,” kata Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Sutan Adil Hendra, melalui rilis yang diterima Parlementaria, Jakarta, Senin (12/11/2018).
Sutan menjelaskan, sebenarnya kebutuhan tenaga kerja banyak, tetapi yang tersedia tidak memiliki keahlian yang dibutuhkan dunia usaha. Pembangunan SMK di berbagai wilayah tidak diikuti tata kelola yang baik, seperti laboratorium yang tidak up to date dan kurangnya dukungan keahlian yang dibutuhkan.
Baca Juga: Ketua DPR Terima Penghargaan Best Communicators 2018
“Misalnya bengkel untuk siswa jurusan otomotif. Servis bengkel motor masih utak-atik karburator, padahal motor-motor zaman sekarang sudah enggak pakai. Kenyataan ini memang mau tidak mau dihadapi para calon pekerja,” tandas Sutan.
Legislator Partai Gerindra itu menyoroti, hal ini bukan lagi soal ketimpangan demand dan supply, namun soal input. Pertama, input siswa SMK. SMK selama ini memiliki passing grade lebih rendah daripada Sekolah Menengah Atas (SMA).
Ia mencontohkan perbandingan passing grade antara SMK dan SMA dari hasil seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada 2016. Di Jakarta, passing grade untuk SMA sebesar 79,11 sedangkan SMK 66,17. Kota lain misalnya Semarang, untuk SMA sebesar 58,63 sedangkan SMK hanya 24,50.
Kedua, input guru. Jumlah SMK di seluruh Indonesia sekitar 13.710 sekolah, tetapi guru produktif hanya 22 persen. Guru produktif ialah guru yang mengajar mata pelajaran jurusan, sedangkan 78 persen terkait mata pelajaran lain, seperti agama, Bahasa Indonesia dan Kewarganegaraan.
Tak hanya jumlah, persoalan guru menurutnya juga terkait kompetensi. Ada kemungkinan, guru tersebut mengajar mata pelajaran produktif, tetapi kadang latar belakang pendidikan tak sesuai. Kemungkinan lainnya, latar belakang mendukung, tapi sang guru tak pernah terjun ke lapangan.
“Padahal sekolah kejuruan menuntut anak untuk terlibat aktif bukan duduk, mendengarkan dan menulis. Semua masalah ini perlu kita pikirkan jalan keluarnya, bagaimana meningkatkan daya saing lulusan SMK Tanah Air,” dorong legislator dapil Jambi itu.