Komisi XI: Paket Kebijakan Ekonomi XVI Ancam Industri Kecil
Paket kebijakan ini juga akan melegalkan praktik monopoli pedagang Cina di Indonesia.
Suara.com - Pemerintah kembali merilis paket kebijakan ekonomi XVI untuk mengatasi tekanan ekonomi global. Paket yang digadang-gadang banyak mendatangkan investasi asing ini justru akan megancam industri kecil, karena investasi atau penanaman modal asing (PMA) tak lagi membutuhkan mitra usaha lokal dan PMA pun diarahkan pada para investor Cina.
Dalam wawancara Parlementaria lewat pesan singkat, Rabu (21/11/2018), anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan menilai, pemberian keleluasaan PMA 100 persen yang direncanakan pemerintah terhadap 25 bidang usaha dalam paket ini akan mematikan industri kecil menengah yang selama ini jadi tulang punggung perekonomian Indonesia.
Seperti diketahui, paket kebijakan ini berisi perluasan insentif pajak penghasilan (PPh) bagi badan usaha (tax holiday) untuk mendorong industri perintis maupun hilir, relaksasi daftar negarif investasi, dan insentif untuk devisa hasil ekspor. Paket ini juga dinilai Heri sebagai respons terhadap para investor Cina yang mengeluhkan berbelitnya birokrasi di Indonesia.
“Perlu dijelaskan bahwa proses ini nampaknya telah digagas beberapa bulan yang lalu melalui BKPM, di mana investor Cina mengungkapkan berbelitnya proses investasi di Indonesia yang membuat mereka enggan menanamkan modal usaha. Paket kebijakan ini jelas terarah untuk menarik minat investor Cina,” tandas legislator Partai Gerindra ini.
Baca Juga: Bambang Soesatyo: Masalah Tanah Jadi Perhatian Serius DPR
Menurut Heri, paket kebijakan ini juga akan melegalkan praktik monopoli pedagang Cina di Indonesia. Sebaliknya, Indonesia sama sekali tidak mendapatkan keuntungan finansial apapun.
Serapan tenaga kerja lokal dari investasi Cina selama ini tidak bisa dipastikan, pasalnya proyek patungan dengan Cina kerap menggunakan tenaga kerja Cina.
“Paket kebijakan yang menguntungkan Cina ini jelas menunjukan keberpihakan pemerintah Jokowi terhadap trade wars antara Cina dengan AS, setelah gagalnya kesepakatan di KTT APEC pada 17-18 November 2018 di PNG,” ujar legislator asal Sukabumi, Jawa Barat itu.
Setidaknya ada dua regulasi yang direvisi pemerintah dengan lahirnya paket kebijakan tersebut. Pertama, PMK Nomor 35/PMK.010/2018 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan. Revisi ini dilakukan dengan menambahkan tiga sektor usaha yang mendapatkan tax holiday, yakni industri pengolahan berbasis hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, dan ekonomi digital, sementara beberapa usaha yang disederhanakan ke dalam satu sektor adalah industri komputer dan smartphone.
Kedua, Perpres Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Daftar Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Aturan tersebut direvisi karena pemerintah memutuskan akan merelaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI) 25 sektor usaha. Relaksasi DNI ini akan membuat investasi pada 25 sektor usaha itu bisa 100 persen dikuasai asing.
Baca Juga: DPR Sepakat Terapkan Keterbukaan Parlemen di Level Global
Menurutnya, kebijakan ini telah mencederai program penumbuhan dan pencetakan wirausaha pemula (WP) dan wirausaha baru (WUB) dari Kementerian Koperasi & UMKM dan Kementerian Perindustrian. Program yang didanai dari APBN setiap tahunnya ini akan terancam kalah bersaing dengan investor asing.