Delegasi DPR Kembali Perjuangkan Krisis Kemanusiaan Rohingya
Sikap delegasi parlemen Indonesia tahun ini masih sama dengan sikap pada 2017 dan 2018.
Suara.com - Delegasi DPR, untuk ketiga kalinya kembali memperjuangkan isu krisis kemanusiaan Rohingya untuk dijadikan resolusi dalam rapat Komite Eksekutif ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) ke-40 yang diselenggarakan di Bangkok, Thailand. Usulan tersebut mengundang perdebatan panjang dalam sidang Komite Eksekutif AIPA.
Myanmar kembali menolak dengan tegas isu krisis Rohingya masuk ke dalam pembahasan Sidang AIPA. Sementara sejumlah negara lainnya, seperti Thailand, Malaysia, Vietnam, Laos, Kamboja, dan Singapura, lebih bersikap diam dan menyerahkan kepada mekanisme konsensus.
“Pada 25 Agustus 2019, tepat dua tahun peristiwa genosida dan eksodus ratusan ribu orang Rohingya dari Myanmar ke Bangladesh. Meski demikian, hingga kini situasi yang dialami para pengungsi Rohingya masih tak menunjukkan perbaikan. Upaya repatriasi yang sudah direncanakan sejak tahun lalu juga belum menunjukkan perkembangannya. Itu sebabnya, kami kembali mengajukan draf resolusi atas krisis kemanusiaan yang terjadi di Myanmar. Resolusi ini harus menjadi bagian penting dari hasil Sidang Umum AIPA ke-40. Kita di ASEAN tak boleh menutup mata atas masalah Rohingya,” jelas Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, saat rapat Komite Eksekutif AIPA ke-40 di Bangkok, Thailand, Minggu (25/8/2019).
Pimpinan DPR Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Korpolkam) itu memastikan, sikap delegasi parlemen Indonesia tahun ini masih sama dengan sikap pada 2017 dan 2018, bahwa krisis Rohignya harus masuk ke dalam agenda pembicaraan Komisi Politik AIPA.
Baca Juga: Kinerja Pansel Tuai Kritik, Masinton: yang Tentukan Pimpinan KPK Itu DPR
Sebagai forum parlemen tertinggi di ASEAN, AIPA tak boleh mengabaikan isu kemanusiaan Rohingya yang hingga kini belum tuntas penyelesaiannya. Penolakan AIPA terhadap pembahasan isu Rohingya, menandakan forum AIPA tak memiliki komitmen terhadap perlindungan kemanusiaan dan perdamaian di kawasan.
“Kekhawatiran Myanmar dan sejumlah negara lainnya terhadap draf resolusi yang kami ajukan, karena dinilai mencampuri urusan internal anggota ASEAN lainnya, jelas tak beralasan. Draf resolusi ini kami ajukan untuk mendukung Myanmar dalam memulihkan perdamaian dan stabilitas, serta untuk memberi bantuan dalam mengatasi krisis kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya. Saya sudah meninjau langsung para pengungsi di kamp Kutupalong Bangladesh dan mereka hidup sangat menderita. Lebih dari 1 juta pengungsi dan mereka membawa cerita mengerikan tentang pengusiran, pemerkosaan bahkan pembantaian,” jelas Fadli.
Politisi Partai Gerindra itu menambahkan, AIPA sebagai forum parlemen yang paling dekat dengan sumber krisis di Rohingya, semestinya menjadi forum parlemen yang paling aktif dalam merespon krisis tersebut. Dalam forum parlemen yang lebih luas, seperti dalam Sidang Inter Parliamentary Union (IPU) ke-139 di St. Petersburg, Rusia, 2018, masyarakat internasional telah mengakui urgensi untuk mengatasi situasi melalui sebuah resolusi.
Begitu juga halnya dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang telah menerbitkan laporan serta resolusi atas situasi yang terjadi di Rakhine, Myanmar, sehingga sangat aneh jika AIPA justru mengabaikan isu ini hanya karena hendak menjaga hubungan baik negara tetangga.
“Rapat Komite Eksekutif dibuka pukul 20.00 dan ditutup pukul 22.30. Dari 2,5 jam itu, sekitar 1,5 jam di antaranya berisi perdebatan mengenai draf resolusi yang diajukan parlemen Indonesia. Selama persidangan, kami melakukan persuasi kepada seluruh delegasi bahwa resolusi ini penting untuk dijadikan sebagai sikap AIPA. Sesudah berdebat alot, persidangan terpaksa dihentikan sementara agar terjadi mekanisme lobi. Namun, upaya itu gagal. Delegasi Parlemen Myanmar yang dipimpin Su Su Lwin, yang juga mantan ibu negara, tetap tidak mau membuka diri untuk menerima dan membahas resolusi yang diusulkan Indonesia,” urai Fadli.
Baca Juga: DPR : Pemindahan Ibu Kota Negara Jadi Keputusan Visioner
Fadli menambahkan, sesuai dengan statuta AIPA, dimana mekanisme pengambilan keputusan di AIPA menganut sistem konsensus, akhirnya tak ada resolusi terkait isu Rohingya. Sebagai bentuk protes, delegasi parlemen Indonesia menolak untuk membahas resolusi lain dalam bidang politik.