Komisi II : Undang-Undang Pemilu harus Selalu Direvisi Tiap Periode
Indonesia sudah sepakat menggunakan sistem proporsional.
Suara.com - Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Arwani Thomafi menyampaikan bahwa keberadaan Undang-Undang Pemilu harus selalu di-update ataupun direvisi pada setiap periodenya, karena ada kebutuhan-kebutuhan yang banyak disuarakan oleh masyarakat.
“Karena ada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang harus disesuaikan dalam UU Pemilu ini. Juga kebutuhan-kebutuhan yang disuarakan oleh masyarakat, yang tentu dalam posisinya untuk menghargai kualitas penyelenggaraan demokrasi pemilu kita,” ucap Arwani dalam acara diskusi Forum Legislasi yang digelar di ruang Media Center DPR RI, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (7/7/2020).
Politisi Fraksi PPP itu mengatakan, ada beberapa hal yang menjadi fokus Komisi II dalam isu terkait UU Pemilu. Ia menyatakan, hampir semua fraksi di DPR RI sepakat untuk meninjau kembali jadwal pelaksaan pemilu kepala daerah.
“Ada yang berpendapat waktunya disesuaikan/dinormalisasikan sesuai dengan masa jabatan kepala daerah tersebut. Selain itu yang selalu hangat dibicarakan adalah masalah parliamentary threshold, presidential threshold, serta soal utak-atik sistem pemilu kita, apakah proporsional terbuka atau tertutup,dan mungkin juga mempertimbangkan sistem campuran,” ungkap Arwani.
Baca Juga: Komisi III DPR Minta KPK Segera Tangkap Buronan Djoko Tjandra
Sebenarnya, sambung Arwani, revisi UU Pemilu, selain untuk penyesuaian keputusan MK adalah merupakan kebutuhan hukum yang muncul dan disuarakan oleh masyarakat guna memperbaiki proses pemilu sebelumnya yang dirasa ada persoalan mendasar, yang berkaitan dengan hak-hak politik dasar warga negara, dan juga berkaitan dengan kualitas penyelenggaraan itu sendiri.
“Saya kira menjadi sangat penting jika hal itu nanti diakomodir dalam revisi UU Pemilu tersebut. Kita tidak perlu melebar kemana-mana, kalau acuannya itu konsisten dan betul-betul kita ingin menjaga, jangan sampai justru undang-undang nantinya dibuat hanya untuk pijakan untuk memudahkan partai politik atau kontestan tertentu. Misalnya tradisi menaikan parliamentary threshold (PT),” ujarnya.
Arwani menyampaikan, seolah-olah menaikan persentase PT itu akan menaikkan kelas demokrasi kita. “Ini menjadi sesuatu yang harus kita buktikan, apa benar kalau menaikan PT dari 4 persen ke 5 persen itu betul-betul sudah mencerminkan demokrasi kita naik kelas. Atau justru ada kepentingan-kepentingan tertentu di luar peningkatan kualitas demokasi kita,” tandasnya.
Menurutnya, Indonesia sudah sepakat menggunakan sistem proporsional. Sistem ini dipilih karena memang dirasa cocok dengan model keragaman dan kebhinekaan yang dimiliki bangsa Indonesia.
“Keragaman yang kita punya tidak hanya soal suku bangsa dan sebagainya, tetapi juga warna politik. Dengan sistem proporsional berarti kita ingin agar suara masyarakat itu semakin banyak yang harus dikonversi menjadi ‘kursi’ dan tidak harus sia-sia,” tutur Arwani.
Baca Juga: Usai Rapat Tertutup dengan Pimpinan KPK, Komisi III DPR Tinjau Rutan K-4
Persoalannya, tambahnya, kalau parliamentary thresholddinaikkan, ada problem mendasar yaitu semakin banyak suara yang hilang dan tidak terkonversi menjadi kursi.