Kebijakan Pembelajaran Tatap Muka harus Kedepankan Prinsip Kehati-hatian
Terdapat banyak syarat yang harus dipenuhi sebelum sekolah dapat menyelenggarakan pendidikan tatap muka.
Suara.com - Pandemi Covid-19 memberikan tekanan yang berat bagi semua pihak di berbagai aspek. Tidak hanya pada aspek ekonomi dan kesehatan, tapi juga pada aspek psikologis.
Tak terkecuali bagi bagi anak-anak yang selama pandemi ini berlangsung, atau sejak Maret 2020 yang tidak melaksanakan kegiatan belajar mengajar di sekolah, tekanan dari sisi psikologis itu cukup terasa berat.
Baru-baru ini, dalam siaran persnya, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian menyampaikan, menurut survei dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 62,5 persen siswa tidak menganggap belajar dari rumah itu menyenangkan.
“Dari berbagai kegiatan penyerapan aspirasi yang kami lakukan melalui berbagai kanal, banyak sekali siswa yang meminta sekolah untuk dibuka kembali. Ini cukup mengejutkan, karena ternyata siswa tidak menikmati belajar di rumah dan justru tidak sabar ingin masuk kembali ke sekolah," kata Hetifah.
Baca Juga: Abu Bakar Baasyir Bebas Jumat, DPR: Hal yang Lumrah
Hal tersebut harus menjadi pertimbangan besar bagi pemerintah untuk mulai melonggarkan kebijakan pembukaan sekolah. Selain itu, terdapat beberapa dampak negatif yang dapat terjadi jika kebijakan belajar dari rumah tetap dilaksanakan. Salah satunya adalah potensi learning loss, atau kehilangan pembelajaran yang disebabkan rendahnya akses internet di berbagai daerah, juga perbedaan kemampuan SDM pengajar dalam melakukan pendidikan jarak jauh.
"Jika ini terjadi, kesenjangan dalam dunia pendidikan akan terus melebar antara mereka yang berasal dari keadaan sosial ekonomi tinggi dan rendah. Jika ini dibiarkan, angka putus sekolah juga terancam meningkat akibat banyaknya anak yang tidak bersekolah dan justru bekerja di masa pandemi ini," ujarnya.
Untuk itu, menurut politikus Fraksi Partai Golkar ini, keputusan untuk membuka kembali sekolah adalah salah satu upaya yang diambil untuk mereduksi dampak-dampak negatif di atas. Tentu saja kebijakan tersebut tidak diambil dengan semena-mena.
Terdapat banyak syarat yang harus dipenuhi sebelum sekolah dapat menyelenggarakan pendidikan tatap muka.
“Kami sebagai wakil rakyat mendorong seluruh stakeholder untuk mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam pengambilan kebijakan ini. Lebih baik menghindari mudharat yang lebih besar, dan lebih baik mencegah daripada mengobati. Sekali lagi, keselamatan dan kesejahteraan anak-anak kita jauh lebih penting dari berbagai target dan capaian lainnya. Setiap keputusan yang diambil harus berbasis data, dan tidak bisa hanya mengandalkan sentimen dari masyarakat,” terangnya.
Baca Juga: Jadi Tanggung Jawab Polri, DPR: Pengawasan Baasyir Usai Bebas Wajar
Selain itu, ia berharap agar Kemendikbud, pemerintah daerah serta pemangku kepentingan lainnya tetap memberikan alternatif bagi mereka yang menjalankan pembelajaran jarak jauh. Karena pilihan tersebut lebih utama bagi mereka yang mampu menjalankan, dan harus mendapatkan fasilitas dan dukungan yang memadai dari pemerintah.
Pembangunan infrastruktur telekomunikasi, bantuan gawai, serta program pendampingan guru tetap harus menjadi fokus pembangunan pendidikan kedepannya, karena di masa depan, blended learning atau pembelajaran campuran daring dan luring tidak dapat terelakkan.
"Kami menghimbau para pemangku kepentingan di seluruh daerah di Indonesia untuk berusaha sebaik mungkin dalam mengambil kebijakan pendidikan yang berkeadilan, dengan tetap menomorsatukan kesehatan, demi pembangunan SDM Indonesia Unggul yang sehat dan cerdas," pungkasnya.