DPR: Kenaikan Tarif PPN Jadi Ironi di Tengah Lesunya Daya Beli Masyarakat

Fabiola Febrinastri | Restu Fadilah
DPR: Kenaikan Tarif PPN Jadi Ironi di Tengah Lesunya Daya Beli Masyarakat
Anggota Komisi XI DPR RI Ecky Awal Mucharam. (Foto: Dok/Andri)

Ecky menyebut, wacana kenaikan PPN adalah fenomena mantab (makan tabungan) masyarakat.

Suara.com - Anggota Komisi XI DPR RI, Ecky Awal Mucharam menyebut bahwa wacana perubahan ketentuan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun 2025 kontraproduktif dengan kondisi daya beli masyarakat saat ini.

Diketahui, sumber PPN terbesar berasal PPN dalam negeri, yaitu berupa konsumsi masyarakat dan PPN impor, yang merupakan konsumsi bahan modal dan bahan baku bagi industri. Menurutnya, kenaikkan tarif PPN selain akan lebih melemahkan daya beli masyarakat, tetapi juga berpotensi meningkatkan tekanan bagi perekonomian nasional.

“Dengan tarif PPN yang belum lama dinaikkan jadi 11 persen saja, daya beli masyarakat langsung anjlok, bagaimana jadinya jika tarif PPN dinaikkan kembali? Otomatis masyarakat akan menjadi korban,” ungkap Politisi Fraksi PKS itu.

Merujuk pada Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) termaktub bahwa pemerintah menaikkan tarif PPN menjadi 11 persen yang diberlakukan mulai 1 April 2022, dan 12 persen berlaku paling lambat tanggal 1 Januari 2025. Disampaikannya, setelah adanya kenaikan PPN hal tersebut langsung berdampak pada daya beli masyarakat yang makin menurun.

Baca Juga: Bungkam Soal Korupsi Rumah DPR, Indra Iskandar Malah Pasang Wajah Meledek Usai Diperiksa KPK

Lebih lanjut, anggota Badan Anggaran DPR RI mengatakan bahwa menurunnya daya beli masyarakat pada tahun 2022 terlihat dari porsi konsumsi rumah tangga yang sebagian besar digunakan untuk barang habis pakai. Pendapatan yang diperoleh hampir seluruhnya untuk beli makanan dan perlengkapan rumah tangga. Ecky menuturkan tren penurunan daya beli masyarakat masih berlanjut hingga tahun 2023.

“Fenomena ‘mantab’ (makan tabungan) masyarakat menengah pada 2023 menjadi isu yang hangat,” lanjut Ecky.

Adanya hal tersebut sesuai dengan hasil survei konsumen yang dilakukan BI, di mana rasio konsumsi kelompok dengan pengeluaran di bawah Rp 5 juta sebagian besar mengalami penurunan. Penurunan paling dalam dicatatkan oleh kelompok pengeluaran Rp2,1 juta–Rp3 juta, diikuti kelompok pengeluaran Rp4,1 juta–Rp5 juta.

Selanjutnya, Ecky menilai penyesuaian tarif PPN berpotensi mendorong inflasi tinggi yang mengindikasikan harga-harga barang/jasa semakin mahal. Pada kelanjutannya akan membuat daya beli masyarakat makin terpuruk.

“Para pelaku industri dari golongan ekonomi atas akan dengan mudah menaikan harga barangnya ketika tarif PPN bahan baku industrinya meningkat, pada akhirnya masyarakat ekonomi menengah ke bawah sebagai konsumen yang akan menanggung secara langsung kenaikan tarif PPN,” kata Ecky menutup pernyataan resminya.

Baca Juga: Pemerintah Buka Peluang Ubah Definisi Aglomerasi Jabodetabek Jadi Metropolitan


Twitter Dpr

Parlementaria

Berita, fakta dan informasi mengenai seputar yang terjadi di DPR-RI