Forum MIKTA di Meksiko, Puan Pimpin Diskusi dan Singgung Bantuan RI Bagi Pengungsi Rohingya

Fabiola Febrinastri | Iman Firmansyah
Forum MIKTA di Meksiko, Puan Pimpin Diskusi dan Singgung Bantuan RI Bagi Pengungsi Rohingya
Ketua DPR RI, Puan Maharani menghadiri pertemuan parlemen anggota MIKTA (Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki, dan Australia). (Dok: DPR)

Puan mendorong produk legislasi yang berfokus pada perlindungan migran melalui UU atau ratifikasi kerangka internasional terkait.

Suara.com - Ketua DPR RI, Puan Maharani menghadiri pertemuan parlemen anggota MIKTA (Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki, dan Australia) yang merupakan negara-negara middle power (kekuatan menengah). Selain mendorong penyelesaian sengketa di Gaza, Puan berbicara soal tantangan ekonomi global hingga persoalan migran dalam forum ini.

MIKTA Speakers’ Consultation sendiri merupakan forum pertemuan konsultatif antara Ketua Parlemen negara Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki, dan Australia. MIKTA Speakers’ Consultation kali ini diselenggarakan di Meksiko pada Senin (6/5/2024) siang waktu setempat.

Pada MIKTA Speakers’ Consultation ke-10, parlemen Meksiko sebagai tuan rumah mengusung tema ‘The Coordinated Action of Parliaments to Build a More Peaceful, Equitable, and Fair World’ atau ‘Aksi Parlemen yang Terkoordinasi untuk Membangun Dunia yang Lebih Damai, Seimbang, dan Adil’.

Puan pun memimpin sesi ketiga pada konsultasi ketua parlemen negara anggota MIKTA yang membahas mengenai ‘Perdagangan sebagai Sarana untuk Meningkatkan Pembangunan Berkelanjutan dan Kesejahteraan Bersama’.

Baca Juga: KPK Sita Dokumen hingga Bukti Transfer saat Geledah Ruangan Sekjen DPR Indra Iskandar

“Kendati dihadapkan pada kondisi yang tidak menentu, perdagangan tetap diharapkan dapat menjadi motor penggerak mengangkat kesejahteraan masyarakat dan mengentaskan kemiskinan,” kata Puan.

Puan pun menyoroti data dari IMF yang menyebut pertumbuhan ekonomi dunia mencapai 3,2% tahun 2024 dan 2025. Sementara pertumbuhan volume perdagangan tahun 2024 menurut WTO diproyeksi meningkat sebesar 2,6%.

“Terlihat bahwa meski menghadapi banyak tantangan, baik ketegangan geopolitik, krisis iklim, maupun disrupsi teknologi, arus perdagangan dunia masih dapat tumbuh positif,” tuturnya.

Puan mengatakan, isu perdagangan tidak dapat dilepaskan dari dinamika geopolitik global. Rivalitas kekuatan besar pun menyebabkan beberapa negara menjalankan kebijakandecoupling, friend-shoring, de-risking.

“Kebijakan ini telah menyebabkan timbulnya fragmentasi perdagangan internasional.
Perang dan ketegangan di Timur Tengah dan Ukraina juga mendisrupsi rantai pasok global, termasuk untuk produk pangan dan pertanian, dan pasokan minyak,” ungkap Puan.

Baca Juga: Hardiknas 2024, Puan Soroti Pentingnya Ekosistem Pendidikan Demi Terciptanya SDM Unggul

Lebih lanjut, Puan berbicara mengenai berbagai tantangan ekonomi global mulai dari bentuk baru globalisasi yang tidak terlepas dari perkembangan geopolitik global karena terjadi perubahan pola perdagangan antar-negara, hingga desentralisasi perdagangan internasional yang menyebabkan arus perdagangan internasional lebih meningkat di antara negara-negara di kawasan.

“Perubahan pola perdagangan internasional yang baru ini membuka peluang negara anggota MIKTA untuk lebih meningkatkan arus perdagangannya. Namun semua ini harus dilakukan sejalan dengan aturan pada WTO,” ujar mantan Menko PMK itu.

“Dari perspektif MIKTA, kita berharap aturan WTO dapat memfasilitasi peningkatan arus perdagangan middle power, seperti MIKTA yang ekonominya masih terus berkembang,” sambung Puan.

Dengan jumlah populasi melebihi 500 juta orang, kelima negara MIKTA dinilai harus mampu berkontribusi positif bagi perekonomian global. Menurut Puan, masing-masing ekonomi negara MIKTA juga harus dapat berperan penting menjadi bagian rantai pasok global.

“Sebagai kemitraan lintas kawasan, MIKTA harus menjadi jembatan antara negara maju dan negara berkembang pada proses perundingan di WTO. Masing-masing negara MIKTA memiliki potensi ekonomi tersendiri dan dapat saling melengkapi,” sebutnya.

Dalam konteks ini, Puan menyampaikan perspektif Indonesia yang berharap upaya mencapai tujuan perlindungan lingkungan melalui kebijakan perdagangan harus nempertimbangkan tingkat pembangunan negara yang berbeda-beda.

“Jangan sampai upaya perlindungan lingkungan dijadikan alasan melakukan tindakan proteksionisme perdagangan terselubung (disguised protectionism),” tegas Puan.

“Saya mengajak parlemen anggota MIKTA untuk mengukuhkan komitmen bersama terhadap sistem perdagangan multilateral yang non-diskriminatif, adil, terbuka, dan inklusif. Hanya dengan demikian, maka perdagangan dapat berperan bagi pencapaian tujuan pembangunan global (SDGs),” imbuhnya.

Kemudian pada sesi 4 MIKTA Speakers’ Consultation ke-10 yang membahas soal meningkatnya arus migrasi internasional, Puan berbicara soal perlunya solusi dan langkah konkret dalam mengatasi permasalahan tersebut.

Hal ini lantaran migrasi terjadi setiap harinya di seluruh dunia. Para migran disebut harus membuat keputusan tersulit dalam hidup mereka dengan meninggalkan rumah dan negaranya untuk mencari kehidupan yang lebih aman dan lebih baik.

“Perlu adanya upaya berbagi beban dan tanggung jawab dengan negara-negara yang paling terkena dampak dari arus migrasi. Sebagai kerja sama antar kawasan, MIKTA disebut memiliki posisi penting dalam memperkuat tata kelola migrasi melalui implementasi Global Migration Compact untuk memastikan migrasi yang aman, teratur, dan berkala (safe, orderly, and regular migration),” urai Puan.

Perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR RI itu pun mendorong MIKTA agar dapat bekerja sama dalam mempromosikan kebijakan integrasi migran ke masyarakat negara tuan rumah (host country) dan inklusi sosial. Puan menyebut, langkah ini untuk memperbaiki tataran domestik menyangkut masalah migran.

“Sebagai bagian dari komunitas internasional, kita semua harus mencari solusi dan langkah kolektif dalam melindungi hak asasi manusia,” tegas Puan.

Dalam kesempatan itu, Puan menyinggung langkah yang dilakukan Indonesia, meskipun bukan merupakan negara pihak pada Konvensi Pengungsi 1951. Indonesia disebut secara konsisten mengedepankan pendekatan kemanusiaan dan menerapkan prinsip hak asasi manusia.

“Hal ini telah ditunjukkan salah satunya dalam pemberian bantuan kemanusiaan dan fasilitasi penampungan sementara bagi 1.900 pengungsi Rohingya, serta penanganan atas lebih dari 12.000 pengungsi lainnya di Indonesia,” terang cucu Bung Karno itu.

Puan juga mengatakan prioritas pengelolaan isu migrasi di Indonesia juga berfokus pada Diplomasi Perlindungan. Khususnya bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI).

“Yakni mewajibkan keselamatan dan pemenuhan hak-hak PMI beserta keluarganya di seluruh siklus migrasi,” ucap Puan.

Untuk diketahui, hingga tahun 2023 lebih dari 110 juta orang terpaksa mengungsi dari kampung halamannya. Sebanyak 40% atau sekitar 43 juta di antaranya adalah anak-anak, serta 48% adalahperempuan. Para migran ini terusir akibat konflik dan peperangan, persekusi dan kekerasan.

Sebagian dari migran pun mencari peluang ekonomi untuk bertahan hidup. Banyak pula yang lari dari negaranya menghindari dampak perubahan iklim yang kian berbahaya. Selama 10 tahun terakhir, setidaknya lebih dari 63 ribu orang kehilangan nyawa saat bermigrasi.

“Kondisi ini menuntut tindakan kolektif kita semua untuk mengelola aliran migrasi berupa perpindahan orang,  dan melindungi hak asasi manusia,” kata Puan.

“Hal ini dilakukan dengan pembagian tanggung jawab secara adil dan efektif dengan memperkuat kerja sama antara negara asal, negara transit, dan negara tujuan,” imbuhnya.

Secara paralel, MIKTA dinilai dapat berkontribusi mengatasi akar masalah pendorong migrasi yang tidak teratur (irregular migration). Antara lain, menurut Puan, melalui peningkatan bantuan pembangunan bagi negara dengan tingkat migrasi tinggi(negara asal) untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.

“Di kawasan Asia Tenggara, khususnya dalam kerangka ASEAN, kami memastikan jalur resmi pergerakan migran yang aman.
Hal ini sesuai dengan Deklarasi ASEAN tentang Perlindungan dan Penguatan Hak-Hak Pekerja Migran,” ujarnya.

Pada keketuaan Indonesia di ASEAN tahun 2023 lalu, komitmen pada hal itu diperkuat melalui deklarasi baru yang melindungi pekerja migran dan keluarga mereka selama krisis. Indonesia juga mendorong perlindungan hak-hak migran melalui kerja sama Bali Process, yang merupakan inisiatif bersama Australia untuk mengatasi penyelundupan manusia, tindak pidana perdagangan orang (TPPO), dan kejahatan transnasional terkait di Asia Pasifik.

“Terkait peran parlemen, DPR RI sebagai tuan rumah Sidang Umum ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) ke-44 tahun 2023 lalu memimpin komitmen parlemen Asia Tenggara dalam mendorong solusi krisis politik dan kemanusiaan di Myanmar,” ungkap Puan.

Oleh karenanya, Puan mendorong produk legislasi yang berfokus pada perlindungan migran melalui UU atau ratifikasi kerangka internasional terkait.

“Diskusi multilateral tentang tata kelola migrasi banyak berfokus pada dampaknya terhadap pembangunan. Namun, pentingnya perspektif HAM dalam diskusi ini juga tidak boleh kita abaikan,” katanya.

Puan menegaskan, parlemen perlu menjamin kebijakan migrasi yang inklusif dan berbasis HAM serta memastikan bahwa prinsip-prinsip HAM tercermin dalam tata kelola migrasi internasional.

“Melalui diplomasi parlemen, saya mengajak kita semua untuk berkontribusi dalam perumusan kebijakan migrasi dan mewujudkan tata kelola migrasi yang berdimensi hak asasi manusia,” pungkas Puan.


Twitter Dpr

Parlementaria

Berita, fakta dan informasi mengenai seputar yang terjadi di DPR-RI