Istilah Beras Oplosan Tidak Ada, Hanya Beras Tidak Sesuai Mutu dan Label

Fabiola Febrinastri | RR Ukirsari Manggalani
Istilah Beras Oplosan Tidak Ada, Hanya Beras Tidak Sesuai Mutu dan Label
Anggota Komisi IV DPR RI Riyono (Dok: DPR/Andri)

Beras memiliki beragam kualitas, mulai beras premium seperti rojo lele, hingga beras medium, dan beras berkualitas rendah.

Suara.com - Anggota Komisi IV DPR RI Riyono, menegaskan pentingnya pelurusan pemahaman publik terhadap istilah "beras oplosan" yang belakangan kembali mencuat dalam pemberitaan dan isu pangan nasional. Menurutnya, tidak ada istilah resmi “beras oplosan”, yang ada adalah beras yang tidak sesuai antara mutu dan label yang tertera pada kemasannya.

“Rilis saya memang menjelaskan makna ini agar masyarakat tidak salah kaprah dalam memahami kualitas beras. Istilah ‘beras oplosan’ terlalu bias dan menimbulkan kesan negatif, padahal dalam praktiknya, pencampuran beras dilakukan untuk menyesuaikan kualitas rasa dan harga jual,” jelas Riyono dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (7/8/2025).

Lebih lanjut, Riyono menjelaskan bahwa beras memiliki beragam kualitas, mulai dari beras premium seperti rojo lele, hingga beras medium, dan beras berkualitas rendah. Pencampuran antara jenis-jenis ini dalam dunia industri perberasan merupakan hal yang lazim dan diperbolehkan selama kandungan gizinya tetap dijaga dan label mutu mencerminkan isi sebenarnya.

“Beras medium sendiri merupakan hasil campuran antara beras kualitas sedang dan rendah. Yang dimaksud rendah ini seperti menir, yakni beras yang butirannya rusak karena proses penggilingan atau kadar air tinggi. Menir murni tidak layak konsumsi dan umumnya digunakan untuk pakan ternak atau olahan seperti tepung beras. Tapi jika dicampur dengan beras sedang, maka bisa jadi beras medium dengan rasa yang tetap bisa diterima,” papar Politisi Fraksi PKS ini.

Baca Juga: UMK Digital Fest 2025 Resmi Dibuka, Telkom Pacu Semangat Go Digital untuk UMKM

Ia juga menambahkan bahwa pencampuran ini bukan sekadar soal harga, tetapi juga karakter rasa. “Setiap jenis beras punya karakter, (misalnya) ada yang pulen, ada yang keras, ada yang cocok untuk jenis masakan tertentu. Maka pencampuran itu untuk menciptakan rasa dan kualitas yang diinginkan pasar. Ini sah-sah saja, selama tidak menipu konsumen,” tambahnya.

Riyono menyayangkan penggunaan istilah “beras oplosan” dalam narasi Satgas Pangan yang saat ini tengah melakukan penindakan terhadap beras campuran yang disebut tidak sesuai standar. Menurutnya, penindakan seharusnya difokuskan pada aspek ketidaksesuaian mutu dengan label, bukan semata karena beras tersebut merupakan hasil campuran.

“Kalau labelnya menyebut kualitas tertentu, tapi isinya tidak sesuai, itu baru pelanggaran. Itu penipuan. Tapi jangan lantas semua beras campuran disebut oplosan dan dianggap ilegal. Ini akan merugikan pedagang dan bisa berdampak pada harga di pasar,” ujarnya.

Politisi dari Daerah Pemilihan Jawa Timur VII ini juga menyoroti tata kelola distribusi beras nasional yang menurutnya masih belum ideal. Ia menilai, intervensi pemerintah harus lebih kuat agar mampu menjaga stabilitas harga dan pasokan.

“Negara semestinya menguasai minimal 50 sampai 60 persen peredaran beras nasional. Kalau itu bisa dilakukan, pemerintah bisa mengendalikan kapan harga harus dinaikkan, diturunkan, atau distabilkan,” tegasnya.

Baca Juga: Pertamina Sabet Juara 1 Transaksi Tertinggi PaDi UMKM 2024, Perkuat Ekosistem UMKM Lokal

Menutup pernyataannya, Riyono mengingatkan bahwa kebijakan penarikan beras campuran dari pasaran secara sembrono hanya akan memperparah keadaan, terutama di tengah kondisi harga beras yang cenderung meningkat.

“Kalau beras-beras itu ditarik, efeknya bisa menaikkan harga. Sekarang saja di lapangan, bantuan pangan masyarakat tidak tepat waktu, harga naik. Dari Rp12.000 jadi Rp15.000. Ini menunjukkan tata kelola kita belum ideal,” pungkasnya. ***


Twitter Dpr

Parlementaria

Berita, fakta dan informasi mengenai seputar yang terjadi di DPR-RI