Revisi UU Pilkada Baru Sebatas Wacana

Fabiola Febrinastri | Dian Kusumo Hapsari
Revisi UU Pilkada Baru Sebatas Wacana
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan Mustofa. (Dok : DPR).

Begitu terjadi reformasi, proses politik yang sebelumnya lewat oligarki dan korporatis itu direformasi.

Suara.com - Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan Mustofa menegaskan bahwa sampai saat ini revisi UU Pilkada masih baru sebatas wacana atau berupa lontaran yang diungkapkan, baik oleh Menteri Dalam Negeri maupun dari beberapa Anggota DPR RI. Tetapi sebagai bentuk untuk mengakomodir aspirasi, Komisi II DPR RI tetap akan memasukkan Undang-Undang (UU) Pilkada itu sebagai bagian dari UU yang akan dimasukkan ke dalam Prolegnas. 

Demikian diungkapkan Saan saat menjadi salah satu pembicara dalam acara Forum Legislasi yang mengangkat tema ‘Revisi UU Pilkada, Adakah Ruang kembali ke DPRD?’, bertempat di Ruang Media Center DPR RI, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (19/11/2019).

“Pandangan saya secara pribadi, terhadap UU itu memang perlu untuk dilakukan evaluasi. Agar undang-undang dari waktu ke waktu itu semakin berkualitas, semakin baik, dan dalam pelaksanaannya juga mampu meningkatkan proses kualitas dari demokrasi itu sendiri, maupun dalam rangka mampu melahirkan pemimpin-pemimpin daerah yang baik. Tinggal nanti dipelajari bagian mana saja yang perlu untuk dievaluasi. Itu akan kita lihat dari sisi sisi atau titik-titik kelemahannya selama ini,” ucap Saan

Saan mencontohkan, misalnya ada banyak sebagian orang menganggap bahwa Pilkada langsung terlalu mahal biaya politiknya. Nanti dilihat, biaya politik yang paling mahal itu di mana saja. “Tetapi kalau evaluasi itu akan mengembalikan Pilkada langsung ke DPRD, maka hal itu akan menjadi set back atau sebuah kemunduran,” terang politisi Fraksi Partai NasDem itu.

Baca Juga: Komisi II DPR Pastikan Pilkada 2020 Tetap Dipilih Langsung Oleh Rakyat

Begitu terjadi reformasi, proses politik yang sebelumnya lewat oligarki dan korporatis itu direformasi. Termasuk soal Pilkada, di mana pilkada langsung merupakan koreksi terhadap Pilkada lewat DPRD. “Kalau kita kembalikan, padahal kita sudah mengevaluasi dan di situ banyak kelemahan, maka itu menjadi sebuah kemunduran. Ketika kita melihat ada kelemahan dan kemudian kita kembali kepada masa lalu, maka kita nggak akan pernah maju,” tegasnya.

Dikatakannya, Pilkada langsung itu adalah koreksi dari jawaban atas Pilkada lewat DPRD yang selama orde baru itu dijalankan. Munculnya oligarki, dimana Kepala Daerah hanya ditentukan oleh sekelompok orang. Persoalannya apakah akan menjadi lebih murah biaya atau money politic-nya, atau justru bisa jadi akan lebih mahal.

“Pada intinya saya ingin katakan bahwa evaluasi terhadap Pilkada langsung itu perlu. Terkait dengan adanya kelemahan dan sebagainya, tapi kalau kembali kepada cara dipilih oleh DPRD, itu sama dengan kita kembali ke masa lalu, memutar arah jarum jam, dan itu kita hanya melanggengkan politik oligarki yang menentukan pemimpin hanya oleh segelintir orang yang belum tentu nanti mampu melahirkan pemimpin yang baik dan peduli,” tutur Saan.

“Sebagai Pimpinan Komisi II, saya katakan kembali bahwa sampai hari ini belum menerima secara resmi terkait dengan soal revisi UU Pilkada. Apakah itu dari Kemendagri maupun dari masyarakat. Tetapi Komisi II tetap memasukkan itu sebagai bagian dari Prolegnas, apakah akan masuk prioritas atau belum. Kalau misalnya dilakukan revisi dan tahapan Pilkada 2020 sudah berjalan maka diperkirakan tidak akan bisa terkejar. Mungkin untuk Pilkada 2024 masih memungkinkan kalau dibuka ruang untuk melakukan revisi tersebut,” pungkasnya.

Baca Juga: Kepala Daerah Minta Tunjangan Dinaikan untuk Hindari Korupsi, Ini Kata DPR


Twitter Dpr

Parlementaria

Berita, fakta dan informasi mengenai seputar yang terjadi di DPR-RI