DPR Pertanyakan Kesiapan OJK Jalankan Kewenangan Baru
Pemerintah memberikan empat poin kewenangan dan pelaksanaan kebijakan pada OJK.
Suara.com - Anggota Komisi XI DPR RI, Anis Byarwati memberikan catatan khusus kepada Dewan Komisaris Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam rapat kerja Komisi XI DPR RI, yang membahas tentang Perkembangan Industri Jasa Keuangan di tengah situasi Covid-19. Pada rapat yang digelar secara virtual tersebut, Anis menanyakan kesiapan OJK dalam menjalankan kewenangan baru yang diberikan pemerintah kepada OJK.
“Sejauh mana OJK telah menyiapkan human resources-nya dan SOP (Standar Operasional Prosedur) yang handal, supaya kewenangan yang baru ini dapat digunakan dengan tetap memperhatikan tata kelola yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan,” tanya Anis, dalam keterangan tertulisnya kepada Parlementaria, Jakarta, Rabu (8/4/2020).
Adapun kewenangan baru yang dimaksud, OJK sebagai otoritas yang dapat memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan untuk melakukan penggabungan, pengambilalihan, integrasi dan atau konversi. Hal ini tercantum dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020, dimana pemerintah memberikan empat poin kewenangan dan pelaksanaan kebijakan pada OJK.
Kewenangan pertama, OJK dapat memerintahkan Lembaga Jasa Keuangan (LJK) untuk melakukan/menerima penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/ atau konversi dan memberikan sanksi atas pelanggarannya. OJK diberikan kewenangan memberikan izin untuk dapat membuka ruang pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dengan sistem elektronik.
Baca Juga: Wakil Ketua DPR Dialog Virtual dengan 29 Pemimpin Redaksi
Selanjutnya, OJK dapat mengecualikan prinsip keterbukaan di bidang pasar modal dalam rangka pencegahan dan penanganan dalam krisis sistem keuangan untuk menghindari dampak negatif dari pelaksanaan prinsip disclosure.
Terakhir, OJK diberikan kewenangan untuk memberikan perlindungan hukum bagi pengawas sektor jasa keuangan dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenangnya dan mengambil langkah pengawasan.
Terkait dengan kewenangan baru tersebut, Politisi Fraksi Partai PKS ini mempertanyakan poin ketiga yang tidak menyebutkan status dari pasal 1 angka 25 Undang-undang No 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM) yang terkait dengan prinsip keterbukaan. Menurutnya, wewenang OJK yang diberikan dalam Perppu tersebut bertentangan dengan prinsip keterbukaan dalam aturan pasar modal.
”Dalam UUPM ada kewajiban pihak tertentu untuk memenuhi kewajiban prinsip keterbukaan. Pihak ini merupakan emiten atau perusahaan publik yang memiliki pernyataan pendaftaran untuk mengikuti pasar modal. Bagaimana penjelasan detail dari OJK mengenai kondisi-kondisi yang memenuhi syarat ketika prinsip keterbukaan dapat dikecualikan,” ungkapnya.
Anis juga meminta OJK untuk tetap menjunjung tinggi fungsinya dalam memberikan perlindungan pada konsumen.
Baca Juga: Wabah Covid-19, DPR Minta Kemenag Tenangkan Masyakarat
“Pelanggaran terhadap prinsip keterbukaan menimbulkan asymmetric information untuk masyarakat khususnya pemodal, yang pada akhirnya dapat merugikan sehingga penggunaan wewenang ini harus dengan pertimbangan yang matang,” pungkas legislator dapil DKI Jakarta I ini.