Perpres Nomor 54 Tahun 2020 Berpotensi Reduksi Hak Konstitusional DPR

Fabiola Febrinastri
Perpres Nomor 54 Tahun 2020 Berpotensi Reduksi Hak Konstitusional DPR
Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan. (Dok : DPR)

Kekuasaan legislatif dijalankan oleh DPR, dan kekuasaan yudikatif oleh MA/MK.

Suara.com -
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur Dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran (APBN) 2020, sangat berpotensi mereduksi hak konstitusional DPR, yang sudah dimandatkan dalam UUD NRI Tahun 1945. Pembicaraan menyangkut APBN harus selalu melibatkan DPR RI, sesuai Pasal 20a (1) dan  Pasal 23 (1) UUD NRI Tahun 1945.

Demikian ditegaskan anggota Komisi XI, Heri Gunawan dalam rilisnya, Jumat (10/4/2020).

“Jelas sekali menurut aturan main konstitusi, pembahasan APBN harus melibatkan DPR. Pasal 20a ayat 1 UUD 1945 menyatakan DPR memiliki fungsi anggaran. Fungsi tersebut diperkuat dengan Pasal 23 ayat 1 yang menyatakan APBN ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” katanya.

Dengan bahasa yang lebih lugas, Heri menyebut Perpres tersebut “mengebiri” hak konstitusional DPR. Perpres ini merupakan aturan pelakasana dari Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Covid 19 dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Baca Juga: Meski Sakit dan Pahit, DPR Harap Ojol Maklum Tak Bisa Angkut Penumpang

Perpres ini telah mengubah target penerimaan negara menjadi Rp 1.760,9 triliun. Nilai itu turun Rp 472,3 triliun dari target awal penerimaan negara sebelumnya, sebesar Rp 2.233,2 triliun.

Angka tersebut terdiri atas penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.462,6 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 297,8 triliun sebelumnya Rp 366,9 triliun, dan penerimaan hibah sebesar Rp 498 miliar. Sementara itu, untuk alokasi belanja negara meningkat Rp 73 triliun dari sebelumnya Rp 2.540,4 triliun menjadi sebesar Rp 2.613,8 triliun.

Adapun dalam Perpres disebutkan, belanja negara terdiri atas belanja pemerintah pusat sebesar Rp 1.851 triliun dan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) sebesar Rp 761,7 triliun. Nantinya pembiayaan anggaran akan melalui pembiayaan utang, pemberian pinjaman, kewajiban pinjaman, dan pembiayaan lainnya.

Defisit anggaran yang semula 1,76 persen diubah menjadi 5,07 persen. Total utang yang tadinya hanya Rp 307,2 triliun berubah menjadi Rp 852,93 triliun.

Selain itu, defisit keseimbangan primer juga akan meningkat dari Rp 12 triliun menjadi Rp 517,7 triliun. Dari sisi belanja pemerintah pusat, Menteri Keuangan bisa menetapkan pergeseran pagu antar-anggaran, perubahan belanja yang bersumber dari PNBP dan penggunaan kas BLU serta pinjaman luar negeri, perubahan kewajiban yang timbul dari penggunaan Saldo Anggaran Lebih (SAL), pinjaman tunai, penerbitan SBN, dan kas BLU, hingga realokasi anggaran bunga utang.

Baca Juga: Tangani Covid-19, DPR Minta Pemerintah Penuhi Kebutuhan Alkes dan Obat

“Perpres tersebut mencantumkan dasar hukum pembuatannya, yaitu Pasal 4 ayat 1 UUD 1945 dan Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Dari sini dapat disimpulkan tampaknya Pemerintah ingin mengebut sendiri dengan mengabaikan rambu-rambu hukum. Main terabas. Jika kita simak bunyi Pasal 4 ayat 1 UUD 1945, Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar," ungkap Heri.


Twitter Dpr

Parlementaria

Berita, fakta dan informasi mengenai seputar yang terjadi di DPR-RI